Posting cerpen by: Ricky Luck
Hujan adalah sebuah reinkarnasi perjalanan air, dengan kelahirannya kembali kepada bumi setelah lelah jelajahi laut dan mangkat pada angkasa luas. Perlahan aku terus menatap lurus bayi-bayi air yang jatuhnya tepat pada sebuah aliran, dan langsung kearah saluran pembuangan. Dalam senyum simpul aku pertanyakan, apakah air yang kearah tersebut akan menangis?. Karena sedetik saja dia bersorak dengan suara kecilnya yang membentur tanah, dia kembali pada kotornya air kencing, limbah sampah dan kotor-kotor lain-nya.
Malam semakin kelam, sejenak aku teringat pada sosok dirimu tempat dimana semua penasaran-ku berlabuh. Kau terbalut kain berwarna merah saat itu. Menghisap dalam rokok yang terbakar dan terselip pada jari sempurna.Tepat di tempat aku berdiri aku melihat kearahmu dan berpikir, "Sempurna-mu akan lebis manis bagiku bila saja kau bukan 'pelacur'."
Tapi sumpah aku merasa kau berbeda karena aku melihatmu terus selama ini. Kurasa kau tidak akan tau, karena aku berbaur dan menyusup pada penghuni halte lain-nya. Hingga suatu hari aku berterima kasih pada hujan yang membuat halte ini tidak lagi dalam penuh orang-orang yang "nongkrong" dan duduk tidak jelas. Karena dalam situasi hujan, orang akan langsung pergi tanpa banyak bincang. Dan disitulah suara cuekmu menegurku dalam kerasnya suara hujan.
"Permisiii, Mas aku boleh pinjem korek?"
Aku terkejut pada hadirmu, tapi yang membuatku tertegun lama sebelum akhirnya menjawab adalah lebih kepada aroma tubuhmu yang tidak biasa. Untung aku seorang manusia kalo saja aku ini herder pasti sudah kugigit betisnya sambil 'meng-kaing' pergi.
"Oh.., Silakan Mbak." aku lalu menyodorkan korek dengan merk tiga duren dan seperti bangsawan memberikan hadiah, aku serahkan pada dirinya sambil berkata, "Korek-nya tradisional tapi Mba."
"Ga apa-apa.", Sambil mengambil korek dari tanganku diapun tersenyum. Setelah selesai membakar dia menatapku dan berkata. "Ko kamu ga langsung naik bis Mas?" Apa ada yang ditunggu nih jangan-jangan. Oh biar akrab,... Merry." Kata dia serabutan bicara dan berondong kata-kata ditutup dengan menyodorkan tangan ajak kenalan.
"Dino,... Aku nggak tunggu siapa-siapa ko, cuman aja sedikit males cepat pulang, soalnya sampe kosan paling, ga ada kerjaan." Kataku membalas perkenalan dan pertanyaan-nya.
"Bukannya bagus dikosan kan kamu bisa ngobrol atau main dengan sama anak kosan lain."
"Ngobrol apa Mba yang ada tidur, maklum kosan saya rata-rata pekerja semua." Lingkungan kosan-ku emang sedikit suram. Aku bayangkan rata-rata dari mereka sibuk dalam kegiatan ruang '6 x 4 meter'-nya . Kalo ga kegiatan kumpul kebo ya kegiatan game on-line yang aku kurang ngerti dibidang itu.
"Tapi kalo udah kerja kan asik ada uang untuk menghibur diri sendiri" sambil menatap Merry terus berucap.
"Uang gajiku pas buat sebulan Mba."Aku singkat aja menjawab.
Lalu dia menjawab dengan sedkit menghibur, entahlah..."Yaaa, sabar Mas ntar kan lama-lama naek pangkat."
"Mbaa..kalo naek pangkat sih sering yang aku harapkan dari pekerjaanku tuh naek gaji, ha ha ha.." Aku geli sendiri mendengar jawaban ironi dariku. Ya dijaman sulit seperti sekarang, sedikit banyak pangkat tidak menjamin kehidupan. Karena perusahaan juga mengencangkan ikat pinggang-nya.
Diapun tertawa dengan pelan,"Ha ha..,Kamu ternyata bisa lucu juga aku pikir selama ini kamu tipe yang serius. Tatapan dia akhirnya lurus dan dalam padaku.
Astaga apa coba maksudnya?, selama ini,...aku pikir,.. wah wah berarti dia memperhatikanku selama ini. Akupun merasa darah menaik pada kepala dan semukan muka-ku semerah kepiting yang direbus.
Merry seakan bisa membaca jalan pikiranku dan kembali berkata, "Dino aku selalu melihatmu halte ini tidak akan mengalihkan pandanganku kepadamu. Karena walau banyak orang disini, wajahmu yang terlihat sepi dan tanpa kawan sangat menarik perhatianku."
Seakan tidak mau kalah aku membalas perhatian yang ternyata dia hadiahkan padaku, akupun berterus terang. "Merry aku juga selalu melihatmu, kau manis.", Aku hanya bisa mampu berucap sampai situ karena tidak mungkin aku sampai hati melanjutkan bahwa dirinya manis dalam pelacuran-nya.
Malam semakin larut, aku terus berbincang dalam situasi yang menghangat. Tanpa terasa perahu kesunyian sudah jauh ditengah lautan malam. Dalam keadaan seperti ini tidak tega aku meninggalkan Merry dalam sendiri betapapun dia adalah seorang penghibur. Tapi yang lebih gawat lagi kalau lebih dari ini perjalananku sendiri mungkin akan berbahaya dan lebih mahal mengingat aku harus naik ojek menembus kedalaman tempat aku ngekos.
"Merry kamu sampai kapan disini?", Aku bertanya untuk menandakan bahwa pertunjukan sudah ditutup dan bersiap berdiri dari bangku dan siap melangkah pulang.
"Dino,.. kamu mau aku antar?", sebuah pernyataan dan penawaran yang membuatku bengong sesaat.
"Ayu ikut." Dia melangkah tanpa memberi kesempatan aku bengong lebih lama.
Aku mengekor dalam diam dan bertanya dalam hati, sampai aku tiba pada pelataran parkir dari sebuah mall yang buka 24 jam. Diapun merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah remote mobil. 'twit,..twit' wah-wah gaya pikirku dalam hati.
"Ayo masuk" kata Merry melihat aku tepekur dan bimbang. Akupun membuka pintu mobil corrola warna hitam dan mendudukan diri pada bangku nyaman yang bersih. Dibanding bangku plastik patas jelas ini lebih bersih.
Mobilpun meluncur dan mengarungi jalanan, dalam perjalanan Merry bercerita tentang dirinya yang membuatku mengambil sebuah langkah fatal yang indah.
"Dino aku tau kamu pasti bingung, aku juga tau kalo kamu pasti sudah tau siapa aku sebenarnya." Aku tidak menjawab dan diam. Merry-pun melanjutkan. "Ayah kandungku sudah lama wafat, ibu menikah lagi tidak lama kemudian. Tapi sayang 5 tahun berlalu Beliau menyusul Ayah. Tinggal aku dan ayah tiriku. Dan kau tahu Dino jarak 3 bulan Ibu meninggal, Ayah tiriku memperkosa diriku." Aku kaget sekali mendengar kalimat lurus meluncur mulus pada kata-katanya. Aku tidak bisa bereaksi pada kata-kata yang dia ucapkan. Ayah tiriku adalah seorang pengusaha sukses Dino. Dia memang menyesal melakukan itu padaku. Tapi tindakan dia tidak mungkin hanya selesai sampai disitu. Aku dalam keadaan tidak tahu harus bagaimana. Aku lemah Dino Ayah sebatang kara dan Ibu entah dimana keluarganya, karena Ibu pernikaha ibu dengan Ayah adalah kawin lari.
Aku terus diam setelah dia lama mengakhiri kata-katanya. Akhirnya setelah yakin dia selesai akupun berucap.
"Kenapa Merry?, Ko kamu cerita ini semua sama aku?"
Merry hanya diam dan baru setelah itu tiba-tiba dia menyisi.
"Aku tidak pernah punya tempat untuk aku bicara Dino, aku tidak bisa bicara pada pelangganku tempat aku melampiaskan gundah, tidak bisa bicara kepada sesama profesi karena mereka menganggap aku tidak layak berada ditempat mereka." Merry akhirnya meledakan tangisnya.
Aku menjamah kepalanya dan menyandarkan kepalanya pada bahuku. Aku bisa merasakan kesedihan yang teramat sangat pada hidupnya.
"Dino aku sakit, aku mungkin tidak akan ada lagi pada 3-4 tahun kedepan. Kau tau Dino aku terkena HIV."
Astaga aku kaget setengah mati. Tapi entah aku tidak melepaskan pelukanku.
"Kau tidak melepas pelukmu Dino?" nada pertanyaan diungkap olehmu.
"Tidak Merry aku tidak akan melepasnya, tapi ijinkan aku memberimu cinta yang tak pernah kau rasa."
Merry menjauh dan menatap heran.
"Kau tidak perlu seperti itu sehari jujur padamu membuatku sangat bahagia jangan beri aku lebih" Tangis Merry semakin kencang dan dia mulai berteriak.
Aku kembali memeluknya dan berkata. "Ijinkan aku membuat rumah disurga dengan membantu mencintaimu dan merawatmu."
"Aku,..Aku,.."
"sudah diam" Aku memeluknya semakin erat.
Kemudian setelah hari itu berlalu, akupun tenggelam dalam kehidupanku bersama Merry. Aku ajak Merry meninggalkan rumah mewah yang menurutku lebih pantas disebut lingkungan tempat setan bertahta.
Dia menyewa kamar kecil tepat disebelahku dan meninggalkan dunia lamanya. Merry membuatku terharu pada tingkahnya yang haus akan pertobatan. Sungguh tidak kuasa aku menangis ketika dia mengganti bajunya dengan jilbab. Dan hari demi hari dia mulai lancar mengaji.
Yah itu adalah kisah yang menurutku indah sekarang aku sudah jauh dari Merry dan bekerja diluar negri. Hari ini adalah tepat 5 tahun kepergian Merry. Aku baru dari pulang jiarah pada makamnya, dan mampir pada tempat pertemuan kami.
Merry aku yakin jawabnya ketika aku mendengar kau bertanya,
"Layakah aku Dino pada sisinya?"
Aku yakin dan menjawab padanya saat itu.
"Aku yakin seperti janji Allah pada hambanya yang mengucap dua kalimat Syahadat sebelum dia pergi jauh.
Kaupun mengucapkannya dan diam dalam senyum.
0 komentar:
Posting Komentar