Selasa, 12 Juli 2011

0 ILMU, FILSAFAT DAN TEOLOGI



“Aku datang - entah dari mana,
aku ini - entah siapa,
aku pergi - entah kemana,
aku akan mati - entah kapan,
aku heran bahwa aku gembira”.
(Martinus dari Biberach,
tokoh abad pertengahan).

1. Manusia bertanya

Menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya, manusia kagum atas apa yang dilihatnya, manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan mulai menyadari keterbatasannya.  Dalam situasi itu banyak yang berpaling kepada agama:

“Manusia mengharapkan dari berbagai agama jawaban terhadap rahasia yang tersembunyi sekitar keadaan hidup manusia. Sama seperti dulu, sekarang pun rahasia tersebut menggelisahkan hati manusia secara mendalam: apa makna dan tujuan hidup kita, apa itu kebaikan apa itu dosa, apa asal mula dan apa tujuan derita, mana kiranya jalan untuk mencapai kebahagiaan sejati, apa itu kematian, apa pengadilan dan ganjaran sesudah maut, akhirnya apa itu misteri terakhir dan tak terungkapkan, yang menyelimuti keberadaan kita, darinya kita berasal dan kepadanya kita menuju?”  --  Zaman Kita (no.1), Deklarasi Konsili Vatikan II tentang Sikap Gereja Katolik terhadap Agama-agama bukan Kristen, 1965.

Salah satu hasil renungan mengenai hal itu, yang berangkat dari sikap iman yang penuh taqwa kepada Allah, terdapat dalam Mazmur 8:

“Ya Tuhan, Allah kami, betapa mulianya namaMu diseluruh bumi!
KeagunganMu yang mengatasi langit dinyanyikan.
Mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu berbicara bagiMu, membungkam musuh dan lawanMu.
Jika aku melihat langitMu, buatan jariMu, bulan dan bintang yang Kautempatkan;
apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya?
Siapakah dia sehingga Engkau mengindahkannya? -- Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.
Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tanganMu; segalanya telah Kauletakkan dibawah kakinya:
kambing domba dan lembu sapi sekalian,
juga binatang-binatang di padang;
burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut,
 dan apa yang melintasi arus lautan.
Ya Tuhan, Allah kami, betapa mulia namaMu di seluruh bumi!”

2.  Manusia berfilsafat

Tetapi sudah sejak awal sejarah ternyata sikap iman penuh taqwa itu tidak menahan manusia menggunakan akal budi dan fikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas) itu.  Proses itu mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut pengetahuan.  Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis,  sistematis dan  koheren, dan cara mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang (1) disusun metodis, sistematis dan koheren (“bertalian”) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan (realitas), dan yang (2) dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut.

Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan (realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu tentang seluruh kenyataan (realitas).

Filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan (realitas). Filsafat merupakan refleksi rasional (fikir) atas keseluruhan realitas untuk mencapai hakikat (= kebenaran) dan memperoleh hikmat (= kebijaksanaan). 

Al-Kindi (801 - 873 M) : "Kegiatan manusia yang bertingkat tertinggi adalah filsafat yang merupakan pengetahuan benar mengenai hakikat segala yang ada sejauh mungkin bagi manusia ...  Bagian filsafat yang paling mulia adalah filsafat pertama, yaitu pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan sebab dari segala kebenaran".

Unsur "rasional" (penggunaan akal budi) dalam kegiatan ini merupakan syarat mutlak, dalam upaya untuk mempelajari dan mengungkapkan "secara mendasar" pengembaraan manusia di dunianya menuju akhirat.  Disebut "secara mendasar" karena upaya itu dimaksudkan menuju kepada rumusan dari sebab-musabab pertama, atau sebab-musabab terakhir, atau bahkan sebab-musabab terdalam dari obyek yang dipelajari  ("obyek material"), yaitu "manusia di dunia dalam mengembara menuju akhirat". Itulah scientia rerum per causas ultimas -- pengetahuan mengenai hal ikhwal berdasarkan sebab-musabab yang paling dalam.

Karl Popper (1902-?) menulis "semua orang adalah filsuf, karena semua mempunyai salah satu sikap terhadap hidup dan kematian.  Ada yang berpendapat bahwa hidup itu tanpa harga, karena hidup itu akan berakhir.  Mereka tidak menyadari bahwa argumen yang terbalik juga dapat dikemukakan, yaitu bahwa kalau hidup tidak akan berakhir, maka hidup adalah tanpa harga; bahwa bahaya yang selalu  hadir yang membuat kita dapat kehilangan hidup sekurang-kuran gnya ikut menolong kita untuk menyadari nilai dari hidup".  Mengingat berfilsafat adalah berfikir tentang hidup, dan "berfikir" = "to think" (Inggeris) = "denken" (Jerman), maka - menurut Heidegger (1889-1976 ), dalam "berfikir" sebenarnya kita "berterimakasih" = "to thank" (Inggeris) = "danken" (Jerman) kepada Sang Pemberi hidup atas segala anugerah kehidupan yang diberikan kepada kita.

Menarik juga untuk dicatat bahwa kata "hikmat" bahasa Inggerisnya adalah "wisdom", dengan akar kata "wise" atau "wissen" (bahasa Jerman) yang artinya mengetahui. Dalam bahasa Norwegia itulah "viten", yang memiliki akar sama dengan kata bahasa Sansekerta "vidya" yang diindonesiakan menjadi "widya". Kata itu dekat dengan kata "widi" dalam "Hyang Widi" =  Tuhan.  Kata "vidya" pun dekat dengan kata Yunani "idea", yang dilontarkan pertama kali oleh Socrates/Plato dan digali terus-menerus oleh para filsuf sepanjang segala abad.

Menurut Aristoteles (384-322 sM), pemikiran kita melewati 3 jenis abstraksi (abstrahere  = menjauhkan diri dari, mengambil dari).  Tiap jenis abstraksi melahirkan satu jenis ilmu pengetahuan dalam bangunan pengetahuan yang pada waktu itu disebut filsafat:

Aras abstraksi pertama - fisika.  Kita mulai berfikir kalau kita mengamati.  Dalam berfikir, akal dan budi kita “melepaskan diri” dari pengamatan inderawi segi-segi tertentu, yaitu “materi yang dapat dirasakan” (“hyle aistete”). Dari hal-hal yang partikular dan nyata, ditarik daripadanya hal-hal yang bersifat umum: itulah proses abstraksi dari ciri-ciri individual. Akal budi manusia, bersama materi yang “abstrak” itu, menghasilan ilmu pengetahuan yang disebut “fisika” (“physos” = alam).

Aras abstraksi kedua - matesis. Dalam proses abstraksi selanjutnya, kita dapat melepaskan diri dari materi yang kelihatan.  Itu terjadi kalau akal budi melepaskan dari materi hanya segi yang dapat dimengerti (“hyle noete”). Ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh jenis abstraksi dari semua ciri material ini disebut “matesis” (“matematika” – mathesis = pengetahuan, ilmu).

Aras abstraksi ketiga - teologi atau “filsafat pertama”.  Kita dapat meng-"abstrahere" dari semua materi dan berfikir tentang seluruh kenyataan, tentang asal dan tujuannya, tentang asas pembentukannya, dsb.  Aras fisika dan aras matematika jelas telah kita tinggalkan.  Pemikiran pada aras ini menghasilkan ilmu pengetahuan yang oleh Aristoteles disebut teologi atau “filsafat pertama”.  Akan tetapi  karena ilmu pengetahuan ini “datang sesudah” fisika, maka dalam tradisi selanjutnya disebut metafisika.

Secara singkat, filsafat mencakup “segalanya”. Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan; disebut “sebelum” karena semua ilmu pengetahuan khusus mulai sebagai bagian dari filsafat dan disebut “sesudah” karena ilmu pengetahuan khusus pasti menghadapi pertanyaan tentang batas-batas dari kekhususannya.

3.  Manusia berteologi

Teologi adalah: pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan berdasarkan iman.   Secara sederhana, iman dapat didefinisikan sebagai sikap manusia dihadapan Allah, Yang mutlak dan Yang kudus, yang diakui sebagai Sumber segala kehidupan di alam semesta ini.  Iman itu ada dalam diri seseorang antara lain melalui pendidikan (misalnya oleh orang tua), tetapi dapat juga melalui usaha sendiri, misalnya dengan cermat merenungkan hidupnya di hadapan Sang pemberi hidup itu. Dalam hal ini Allah dimengerti sebagai Realitas yang paling mengagumkan dan mendebarkan. Tentulah dalam arti terakhir itu berteologi adalah berfilsafat juga.

Iman adalah sikap batin.  Iman seseorang terwujud dalam sikap, perilaku dan perbuatannya, terhadap sesamanya dan terhadap lingkungan hidupnya.  Jika iman yang sama (apapun makna kata "sama" itu) ada pada dan dimiliki oleh sejumlah atau sekelompok orang, maka yang terjadi adalah proses pelembagaan.  Pelembagaan itu misalnya berupa (1) tatacara bagaimana kelompok itu ingin mengungkapkan imannya dalam doa dan ibadat, (2) tatanilai dan aturan yang menjadi pedoman bagi penghayatan dan pengamalan iman dalam kegiatan sehari-hari, dan (3) tatanan ajaran atau isi iman untuk dikomunikasikan (disiarkan) dan dilestarikan.  Jika pelembagaan itu terjadi, lahirlah agama. Karena itu agama adalah wujud sosial dari iman.

Catatan.
 
(1) Proses yang disebut pelembagaan itu adalah usaha yang sifatnya metodis, sistematis dan koheren atas kenyataan yang berupa kesadaran akan kehadiran Sang Realitas yang mengatasi hidup. Dalam konteks inilah kiranya kata akal ("'aql") dan kata ilmu ("'ilm") telah digunakan dalam teks Al Qur'an.  Kedekatan kata 'ilm dengan kata sifat 'alim kata ulama kiranya juga dapat dimengerti.  Periksalah pula buku Yusuf Qardhawi, "Al-Qur'an berbicara tentang akal dan ilmu pengetahuan", Gema Insani Press, 1998.  Namun sekaligus juga harus dikatakan, bahwa kata "ilmu" itu dalam pengertian umum dewasa ini meski serupa namun tetap tak sama dengan makna kata "ilmu" dalam teks dan konteks Al-Qur'an itu.
(2) Proses terbentuknya agama sebagaimana diungkapkan disini pantas disebut sebagai pendekatan "dari bawah". Inisiatif seakan-akan berasal dari manusia, yang ingin menemukan hakekat hidupnya di dunia ini dikaitkan dengan Sang sumber hidup dan kehidupan. Manusia meniti dan menata hidupnya sesuai dengan hasil penemuannya. Pendekatan "dari atas" nyata pada agama-agama samawi:  Allah mengambil inisiatif mewahyukan kehendakNya kepada manusia, dan oleh karena itu iman adalah tanggapan manusia atas "sapaan" Allah itu.

Sebagai ilmu, teologi merefleksikan hubungan Allah dan manusia. Manusia berteologi karena ingin memahami imannya dengan cara lebih baik, dan ingin mempertanggungjawabkannya: "aku tahu kepada siapa  aku percaya" (2Tim 1:12). Teologi bukan agama dan tidak sama dengan Ajaran Agama. Dalam teologi, adanya unsur "intellectus quaerens fidem" (akal menyelidiki isi iman) diharapkan memberi sumbangan substansial untuk integrasi akal dan iman, iptek dan imtaq, yang pada gilirannya sangat bermanfaat bagi hidup manusia masa kini.

4.  Obyek material dan obyek formal

Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal.  Obyek material adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan, yaitu gejala "manusia di dunia yang mengembara menuju akhirat".  Dalam gejala ini jelas ada tiga hal menonjol, yaitu manusia, dunia, dan akhirat.  Maka ada filsafat tentang manusia (antropologi), filsafat tentang alam (kosmologi), dan filsafat tentang akhirat (teologi - filsafat ketuhanan; kata "akhirat" dalam konteks hidup beriman dapat dengan mudah diganti dengan kata Tuhan).  Antropologi, kosmologi dan teologi, sekalipun kelihatan terpisah, saling berkaitan juga, sebab pembicaraan tentang yang satu pastilah tidak dapat dilepaskan dari yang lain.  Juga pembicaraan filsafat tentang akhirat atau Tuhan hanya sejauh yang dikenal manusia dalam dunianya.

Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat.

Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam dunianya.  Pengalaman manusia yang sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses itu intuisi  (merupakan hal yang ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi proses abstraksi, sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat.

Dalam filsafat, ada filsafat pengetahuan. "Segala manusia ingin mengetahui", itu kalimat pertama Aristoteles dalam Metaphysica. Obyek materialnya adalah gejala "manusia tahu".  Tugas filsafat ini adalah menyoroti gejala itu berdasarkan sebab-musabab pertamanya. Filsafat menggali "kebenaran" (versus "kepalsuan"), "kepastian" (versus "ketidakpastian"), "obyektivitas" (versus "subyektivitas"), "abstraksi", "intuisi", dari mana asal pengetahuan dan kemana arah pengetahuan.   Pada gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek material juga, dan kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan menurut sebab-musabab pertama) menghasilkan filsafat ilmu pengetahuan.  Kekhususan gejala ilmu pengetahuan terhadap gejala pengetahuan dicermati dengan teliti.  Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau metode yang terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan.

5.  Cabang-cabang filsafat

5.1.  Sekalipun bertanya tentang seluruh realitas, filsafat selalu bersifat "filsafat tentang" sesuatu: tentang manusia, tentang alam, tentang akhirat, tentang kebudayaan, kesenian, bahasa, hukum, agama, sejarah, ...  Semua selalu dikembalikan ke empat bidang induk:

1. filsafat tentang pengetahuan:
    obyek material : pengetahuan ("episteme") dan kebenaran
            epistemologi;
            logika;
            kritik ilmu-ilmu;
2. filsafat tentang seluruh keseluruhan kenyataan:
    obyek material : eksistensi (keberadaan) dan esensi (hakekat)
            metafisika umum (ontologi);
            metafisika khusus:
                        antropologi (tentang manusia);
                        kosmologi (tentang alam semesta);
                        teodise (tentang tuhan);
3. filsafat tentang nilai-nilai yang terdapat dalam sebuah tindakan:
    obyek material : kebaikan dan keindahan
            etika;
            estetika;
4. sejarah filsafat.

5.2.  Beberapa penjelasan diberikan disini khusus mengenai filsafat tentang pengetahuan.  Dipertanyakan: Apa itu pengetahuan?  Dari mana asalnya?  Apa ada kepastian dalam pengetahuan, atau semua hanya hipotesis atau dugaan belaka?

Pertanyaan tentang kemungkinan-kemungkinan pengetahuan, batas-batas pengetahuan, asal dan jenis-jenis pengetahuan dibahas dalam epistemologi. Logika ("logikos") "berhubungan dengan pengetahuan", "berhubungan dengan bahasa".  Disini bahasa dimengerti sebagai cara bagaimana pengetahuan itu dikomunikasikan dan dinyatakan. Maka logika merupakan cabang filsafat yang menyelidiki kesehatan cara berfikir serta aturan-aturan yang harus dihormati supaya pernyataan-pernyataan sah adanya.

Ada banyak ilmu, ada pohon ilmu-ilmu, yaitu tentang bagaimana ilmu yang satu berkait dengan ilmu lain.  Disebut pohon karena dimengerti pastilah ada ibu (akar) dari semua ilmu. Kritik ilmu-ilmu mempertanyakan teori-teori dalam membagi ilmu-ilmu, metode-metode dalam ilmu-ilmu, dasar kepastian dan jenis keterangan yang diberikan. 

5.3.  Menurut cara pendekatannya, dalam filsafat dikenal ada banyak aliran filsafat: eksistensialisme, fenomenologi, nihilisme, materialisme, ... dan sebaginya.

 5.4.  Pastilah ada filsafat tentang agama, yaitu pemikiran filsafati (kritis, analitis, rasional) tentang gejala agama: hakekat agama sebagai wujud dari pengalaman religius manusia, hakikat hubungan manusia dengan Yang Kudus (Numen): adanya kenyataan trans-empiris, yang begitu mempengaruhi dan menentukan, tetapi sekaligus membentuk dan menjadi dasar tingkah-laku manusia.  Yang Kudus itu dimengerti sebagai Mysterium Tremendum et Fascinosum; kepadaNya manusia hanya beriman, yang dapat diamati (oleh seorang pengamat) dalam perilaku hidup yang penuh dengan sikap "takut-dan-taqwa", wedi-lan-asih ing Panjenengane. 

Sebegitu, maka tidak ada filsafat agama X; yang ada adalah filsafat dalam agama X, yaitu pemikiran menuju pembentukan infrastruktur rasional bagi ajaran agama X.  Hubungan antara filsafat dengan agama X dapat diibaratkan sebagai hubungan antara jemaah haji dengan kendaraan yang ditumpangi untuk pergi haji ke Tanah Suci, dan bukan hubungan antara jemaah haji dengan iman yang ada dalam hati jemaah itu.

Catatan lain. 

1. Iman dapat digambarkan mirip dengan gunung es di lautan. Yang tampak hanya sekitar sepersepuluh saja dari keseluruhannya.  Karena iman adalah suasana hati, maka berlakulah peribahasa: "dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa yang tahu".  Tahukah saudara akan kadar keimanan saya?

2. Sekaligus juga patut ditanyakan "dimanakah letak hati yang dimaksudkan disini?  Pastilah "hati" itu (misalnya dalam kata "sakit hati" jika seorang pemudi dibuat kecewa  oleh sang pemuda yang menjadi pacarnya) bukan organ hati (dan kata "sakit hati" karena liver anda membengkak) yang diurus oleh para dokter di rumah sakit.  Periksa pula apa yang tersirat dalam kata "batin", "kalbu", "berhati-hatilah", "jantung hati", "jatuh hati", "hati nurani", dan "suara hati".

3.  Menurut Paul A Samuelson tirani kata merupakan gejala umum dalam masyarakat.  Sering ada banyak kata dipakai untuk menyampaikan makna yang sama dan ada pula banyak makna terkait dalam satu kata.  Manusia ditantang untuk berfikir dan berbicara dengan jelas dan terpilah-pilah ("clearly and distinctly"), sekurang-kurangnya untuk menghindarkan miskomunikasi dan menegakkan kebenaran. Itulah nasehat dari Rene Descrates. Bahkan kedewasaan seseorang dalam menghadapi persoalan (termasuk persoalan-persoalan dalam hidupnya) erat hubungannya dengan kemampuannya untuk berfikir dan berbicara dengan jelas dan terpilah-pilah tersebut.

6.  Refleksi rasional dan refleksi imani

Ketika bangsa Yunani mulai membuat refleksi atas persoalan-persoalan yang sekarang menjadi obyek material dalam filsafat dan bahkan ketika hasil-hasil refleksi itu dibukukan dalam naskah-naskah yang sekarang menjadi klasik, bangsa Israel telah memiliki sejumlah naskah (yang sekarang dikenal sebagai bagian dari Alkitab yang disebut Perjanjian Lama). Naskah-naskah itu pada hakekatnya merupakan hasil refleksi juga, oleh para bapa bangsa itu tentang nasib dan keberuntungan bangsa Israel -- bagaimana dalam perjalanan sejarah sebagai "bangsa terpilih",  mereka sungguh dituntun (bahkan sering pula dihardik dengan keras serta dihukum) oleh YHWH (dibaca: Yahwe), Allah mereka.  Ikatan erat dengan tradisi dan ibadat telah menjadikan naskah-naskah itu Kitab Suci agama mereka (Agama Yahudi).  Pada gilirannya, Kitab Suci itu pun memiliki posisi unik dalam Agama Kristiani.

Catatan.
Bangsa Israel (dan Israel dalam Alkitab) sebagaimana dimaksudkan diatas tidak harus dimengerti sama dengan bangsa Israel yang sekarang ada di wilayah geografis yang sekarang disebut "negara Israel".

Kedua refleksi itu berbeda dalam banyak hal.  Refleksi tokoh-tokoh Yunani itu (misal Plato dan Aristoteles) mengandalkan akal  dan merupakan  cetusan penolakan mereka atas mitologi (faham yang menggambarkan dunia sebagai senantiasa dikuasai oleh para dewa dan dewi).  Sebaliknya, refleksi para bapa bangsa Israel itu (misal: Musa yang umumnya diterima sebagai penulis 5 kitab pertama Perjanjian Lama) merupakan ditopang oleh kalbu karena merupakan cetusan penerimaan bangsa Israel atas peran Sang YHWH dalam keseluruhan nasib dan sejarah bangsa itu.  Refleksi imani itu sungguh merupakan pernyataan universal pengakuan yang tulus, barangkali yang pertama dalam sejarah umat manusia, akan kemahakuasaan Allah dalam hidup dan sejarah manusia.

Sekarang ada yang berpendirian, bahwa hasil refleksi rasional para tokoh Yunani itu, berasimilasi dengan tradisi refleksi hidup keagamaan yang monoteistis, ternyata menjadi bibit bagi lahirnya ilmu-ilmu pengetahuan yang dikenal dewasa ini. Oleh karena itu sering filsafat dikatakan mengatasi setiap ilmu.

Sementara itu, harus dicatat bahwa dalam lingkungan kebudayaan India dan Cina berkembang pula refleksi bernuansa lain: wajah Asia. Refleksi itu nyata dalam buah pengetahuan yang terkumpul (misalnya dalam wujud "ilmu kedokteran alternatif" tusuk jarum), dan dalam karya-karya sastra "kaliber dunia" dari anak benua India.  Karya-karya sastra itu sering diperlakukan sebagai kitab suci, atau dihormati sebagai Kitab Suci, karena diterima sebagai kitab yang penuh dengan hal-hal yang bernilai suci untuk menjadi pedoman hidup sehari-hari. 

Misalnya saja Bhagavadgita (abad 4 seb Masehi). Bhagawadgita (atau Gita) diangkat dari epik Mahabharata, dari posisi sekunder (bagian dari sebuah cerita) ke posisi primer (sumber segala inspirasi untuk hidup). Pada abad 8 Masehi, Sankara (seorang guru) menginterpretasi Gita bukan sebagai pedoman untuk aksi, tetapi sebagai  pedoman untuk "mokhsa", pembebasan dari keterikatan kepada dunia ini.  Ramanuja (abad 12 Masehi) melihatnya sebagai sumber devosi atas kerahiman Tuhan yang hanya bisa dihayati melalui cinta.  Pada masa perjuangan kemerdekaan sekitar tahun 40-an, Gita dilihat sebagai pedoman untuk ber-"dharma yuddha", perang penuh semangat menegakkan kebenaran terhadap penjajah yang tak adil.  Bagi Tilak, Arjuna adalah "a man of action" ("karma yogin"), dan Gita mendorong seseorang untuk bertindak sedemikian sehingga ia menjadi "mokhsa" melalui "perjuangan" yang ditempuhnya. Aurobindo, Mahatma Gandhi, Bhave, Radhakrishnan, dan tokoh-tokoh lain membuat komentar yang kurang lebih sama.  Tanpa interpretasi Tilak, misalnya, pergolakan di India pada waktu itu mudah dinilai sebagai bersifat politis murni (atau kriminal murni?), yaitu tanpa  landasan ideal, spiritual, teologis dan etis.

Sesungguhnya, berefleksi merupakan ciri khas manusia sebagai pribadi dan dalam kelompok. Refleksi merupakan sarana untuk mengembangkan spiritualitas dan aktualisasi menjadi manusia yang utuh, dewasa dan mandiri.  Melalui refleksi pula, manusia dan kelompok-kelompok  manusia (yaitu suku dan bangsa) menemukan jati dirinya, menyadari tempatnya dalam dimensi ruang dan waktu (dalam sejarah), serta melaksanakan panggilannya untuk membuat sejarah bagi masa depan. 

Catatan.
Adakah refleksi tentang realitas yang khas Indonesia?  Suatu kajian berdasar naskah-naskah sastra Jawa masa lalu terdapat dalam disertasi doktor P J Zoetmulter SJ: "Manunggaling Kawula Gusti" (1935), yang telah diterjemahkan oleh Dick Hartoko SJ dan diterbitkan oleh PT Gramedia.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Nikychoy Synyster Blog Copyright © 2011 - |- Template created by Niky Choy