Oleh Ignas Kleden
SERUAN para tokoh agama dalam pertemuan di Jakarta (16/01/2002) tentang
dekadensi dan kebangkrutan moral di Indonesia, rupanya menimbulkan shock
besar bagi berbagai kalangan masyarakat Ibu Kota dan mungkin tempat-tempat
lain, seakan-akan di sana diungkapkan suatu kenyataan baru. Padahal, kita
semua tahu proses menuju kebangkrutan moral itu berjalan sejak lama dengan
akselerasi yang makin meningkat dari hari ke hari, tanpa ada keputusan
politik yang nyata untuk mengakhirinya. Seruan itu merupakan suatu
statement of fact dan dapat berfungsi sebagai peringatan keras. Akan
tetapi, hal itu tidak cukup bila tidak disertai analisa mengenai keadaan
sosial-politik, dan keputusan politik yang tegas untuk memperbaiki
keadaan.
Sebagai ancang-ancang mungkin baik untuk dikatakan sambil lalu, moralitas
bukanlah sesuatu yang harus dipahami hanya secara normatif (sebagai urusan
para ahli teologi dan filosof moral), tetapi juga, dan khususnya untuk
Indonesia saat ini, terutama sebagai sesuatu yang fungsional (sebagai
urusan para sosiolog dan ahli ilmu politik). Secara normatif, moralitas
diwajibkan (karena tanpa moralitas seseorang sulit bertumbuh menjadi
seorang individu manusia yang dapat menyempurnakan diri terus-menerus).
Dari sisi ini, moralitas adalah prinsip yang harus dijalankan tanpa
tawar-menawar agar seseorang dapat menjadi manusia, dan bukan kadal
berkaki dua. Sebaliknya, secara fungsional, moralitas amat dibutuhkan,
karena tanpa beberapa pedoman mengenai baik dan buruk, kehidupan bersama
tak dapat diatur. Dari sisi ini, moralitas adalah suatu fungsi yang amat
penting. Tanpa ada peraturan mengenai penghormatan kepada hak hidup dan
hak milik orang lain, kehidupan dalam sebuah desa yang terpencil atau
pekerjaan dalam sebuah kantor kecil menjadi centang-perenang dan tak dapat
diatur.
***
DALAM sifatnya yang normatif, moralitas dianggap melekat pada diri setiap
orang sebagai bakat dan watak etisnya (kita tak dapat menuntut
pertanggungjawaban moral dari seekor monyet atau seekor kambing).
Seterusnya, sebagai sesuatu yang fungsional moralitas adalah konsensus
sosial mengenai nilai-nilai yang disepakati. Kawanan kambing tidak diatur
oleh etos yang bersifat sosial, tetapi oleh insting yang bersifat
biologis. Permainan sepak bola tidak bisa diatur dengan prinsip-prinsip
moral para filosof dan teolog, tetapi dapat diatur para pemain, pelatih,
dan ahli sepak bola melalui konsensus tentang nilai-nilainya yang kita
kenal sebagai etos sportivitas. Bahkan, di kalangan pencuri, pencopet, dan
perampok pun ada berbagai peraturan mengenai apa yang boleh dan tidak
boleh dilakukan, yang bila dilanggar akan mendapat hukuman amat keras.
Peraturan-peraturan itu menyangkut daerah operasi, siapa saja yang boleh
dicopet dan siapa yang tidak boleh, atau apakah sasaran operasi boleh
dicederai atau tidak. Berbagai peraturan ini jelas bukan sesuatu yang
bersifat etis (imperatif yang bersifat mutlak), tetapi suatu etos
(konsensus sosial mengenai apa yang boleh dan tidak boleh) yang mengatur
kehidupan bersama dan kerja sama para pencuri dan pencopet.
Pertanyaan yang kita hadapi kini, bagaimana kita menghadapi masalah baik
dan buruk ini dalam politik Indonesia? Menurut saya, masalah moral dalam
politik Indonesia saat ini harus dihadapi dan dipecahkan, pertama-tama
sebagai suatu persoalan pembentukan etos menyangkut konsensus-konsensus
sosial yang harus dibuat mengikat dengan imbalan dan sanksi (reward and
punishment), melalui praktik yang diulang-ulang secara konsisten. Baru
kemudian dapat dimantapkan dan disempurnakan melalui ketentuan-ketentuan
etika yang memberi pendasaran terhadapnya. Bila tingkat pertama
pembentukan moral habit ini tidak dilaksanakan secara cukup berhasil, kita
akan sia-sia mengerahkan pemikiran tinggi tentang hati nurani, tanggung
jawab, atau kemuliaan martabat manusia yang tidak mempunyai dasar apa pun
untuk diterapkan.
***
DILIHAT secara filosofis, kondisi dekadensi moral membawa orang kepada
keadaan immoral (yaitu sadar tentang norma-norma moral, tetapi bertindak
menentangnya) atau keadaan amoral (yaitu hilangnya kesadaran tentang
adanya nilai-nilai baik dan buruk). Seseorang yang immoral adalah seorang
manusia yang berniat dan berbuat jahat, tetapi seorang yang amoral sama
tinggi tarafnya dengan badak atau cacing tanah, yang masih manusia secara
fisik, tetapi tidak lagi secara kejiwaan, karena masalah baik-buruk tidak
lagi relevan untuk dirinya. Sebaliknya, dilihat secara sosiologis,
dekadensi adalah situasi anomi di mana norma-norma yang ada tidak efektif
lagi, karena tenaga normatif yang ada pada norma-norma itu dibuat menjadi
tidak aktif. Ibaratnya, para mahasiswa dididik untuk berpikir dan bersikap
kritis dalam ruang kuliah, tetapi tidak boleh mengambil sikap berdasarkan
sikap kritisnya bila menghadapi situasi politik sehari-hari. Energi kritik
itu dibentuk sekaligus dibuat mandul.
Perlu dikatakan dengan segera, argumentasi ini tidak mengusulkan suatu
pendapat yang melihat dan memperlakukan moralitas secara pragmatis dan
instrumental, seakan moralitas dibutuhkan semata-mata karena kegunaannya
saja, bukan karena nilai-nilai intrinsik yang ada padanya. Dalam
perbandingan dengan bidang estetika, suatu lukisan Popo Iskandar tidak
menjadi indah dan berharga, karena bermanfaat sebagai hiasan yang bagus
untuk ruang tamu dalam rumah, tetapi karena keindahan intrinsik yang ada
pada lukisan itu sendiri, apakah dia dipakai sebagai hiasan dinding atau
disimpan di gudang. Atas cara yang sama, moralitas tidak dibutuhkan hanya
karena dapat membantu kehidupan bersama, tetapi karena nilai-nilai
intrinsiknya tentang baik-buruk yang bersifat etis.
***
APA yang menjadi fokus tulisan ini adalah bagaimana menegakkan kembali
nilai-nilai moral itu dalam praktik sehari-hari. Jalan yang diusulkan di
sini ialah dengan memperhatikan kembali moral habit formation atau
pembentukan kebiasaan-kebiasaan yang menerjemahkan nilai-nilai baik-buruk
ke dalam tingkah laku sosial anggota masyarakat. Pembentukan kebiasaan itu
hanya dapat dilakukan melalui proses sosial yang didukung mekanisme
imbalan dan sanksi, yang dijalankan berulang-ulang dengan cara konsisten.
Kebiasaan moral itu terbentuk bila timbul kepercayaan secara publik,
berusaha melakukan perbuatan yang benar dan adil, adalah tindakan yang
mendapat imbalan sosial dan politik, sedangkan menyembunyikan atau turut
dalam kejahatan akan mendapat hukuman dan sanksi secara publik.
Gerakan antikorupsi akan amat diperkuat misalnya, bila publik percaya,
seseorang yang melaporkan kasus korupsi seorang pejabat tinggi, akan
dilindungi secara hukum, naik statusnya secara sosial, dan dihargai
keberaniannya secara politis. Yang sering kita alami ialah, yang melapor
justru dikejar-kejar dan diperiksa polisi dan pejabat, yang dilapor justru
tidak diapa-apakan. Kasus Dr Jeffrey Winters dan Ginandjar Kartasasmita
masih segar dalam ingatan kita.
Besarnya sanksi dan imbalan harus seimbang dan proporsional dengan
besarnya kejahatan dan kebaikan yang dilakukan. Bila seorang yang hanya
diduga mencuri sandal pabrik di Tangerang dihukum beberapa bulan penjara,
sedangkan seseorang yang diduga menggelapkan Rp 40 milyar tetap dilindungi
secara politik, dan diselamatkan secara hukum, maka pembentukan moral
habit akan hancur, meski 1.000 jam pelajaran ditambah tiap tahun untuk
mengajarkan nilai-nilai moral. Keberanian para koruptor di Indonesia
meningkat antara lain karena pengalaman, para pencuri kecil mudah
ditangkap dan dihukum (sebagai bukti pelaksanaan negara hukum), tetapi
para pencuri uang negara dalam jumlah ratusan milyar atau trilyunan
dilindungi ketat oleh asas praduga tak bersalah (juga sebagai suatu bukti
bahwa kita hidup dalam negara hukum).
Dikatakan secara ringkas, penyadaran moral baru berguna bila sudah ada
dasarnya, berupa pembentukan moral habit. Sedangkan pembentukan kebiasaan
ini baru mungkin bila didukung proses sosial yang disertai mekanisme yang
konsisten melalui pranata-pranata sosial yang ada. Selain itu, suatu
kejahatan tidak selalu muncul karena sebab-sebab moral, tetapi karena
sebab-sebab sosial, ekonomi atau politik. Sebaliknya, suatu penyelewengan
sosial dapat menimbulkan implikasi moral. Narkotik adalah suatu
penyele-wengan sosial, tetapi dapat segera menghancurkan moralitas
penggunanya. Sebaliknya, kenakalan remaja tidak selalu muncul karena
hilangnya nilai-nilai moral, tetapi karena sebab-sebab yang semata-mata
sosial sifatnya. Tawuran anak-anak SMU di jalanan, karena mungkin itulah
satu-satunya cara mereka mengungkapkan diri dan aspirasi, karena di
sekolah mereka tidak boleh berpendapat, di rumah orangtuanya tidak ada
waktu untuk mendengarkan mereka.
***
PERSOALAN lemahnya pembentukan moral habit dalam politik Indonesia
disebabkan tidak bekerjanya sistem imbalan dan sanksi, bukan hanya karena
ketiadaan model di antara para pemimpin politik. Apakah mereka yang
terbukti melakukan korupsi besar dihukum dengan hukuman seberat-beratnya?
Apakah mereka yang melakukan provokasi di berbagai daerah, menyulut
konflik, dan pembunuhan, dengan segera ditangkap, diadili, dan dihukum?
Apakah seorang pemuda yang babak belur karena membela seorang gadis yang
hendak diperkosa, mendapat insentif sosial dan perhatian pemerintah?
Ketiadaan penerapan sistem imbalan dan sanksi untuk pembentukan moral
habit ini, dan kecenderungan untuk menganggap moral dibentuk dengan
imbauan dan penyadaran semata-mata, kira-kira sama dengan berpidato setiap
pagi selama setengah jam di depan para pemain bola tentang pentingnya
menendang dengan tepat ke sasaran atau pentingnya menerima bola dengan
efektif, tanpa memberi mereka kesempatan untuk berlatih di lapangan dan
turut serta dalam pertandingan.
Efeknya, moralitas hanya akan menciptakan kesadaran palsu, yang menghibur
hati kita bahwa masih ada nilai-nilai luhur yang kita percayai dan dengan
sendirinya menyelamatkan kita, sementara sehari-harinya orang menutup mata
terhadap nilai-nilai itu karena berbagai desakan keadaan. Kita bukannya
ada di pinggir kehancuran hati nurani sebagaimana dikatakan para pemimpin
agama, tetapi ada di puncak hilangnya keberanian politik untuk memperbaiki
keadaan, karena ketakutan bahwa perbaikan ini mendatangkan terlalu banyak
risiko untuk kekuasaan politik, yang sementara ini tidak begitu jelas
hendak dipergunakan untuk tujuan apa.
* Dr Ignas Kleden MA Phil, sosiolog, Direktur Pusat Pengkajian Indonesia
Timur (The Center for East Indonesian Affairs), Jakarta.
Artikel ini pernah dimuat di harian kompas,Kamis 24 Januari 2002
Minggu, 24 Juli 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar