KONSEP-KONSEP ANTROPOLOGIS
oleh Jalaluddin Rakhmat
Al-Qur'an adalah kitab manusia. Karena al-Qur'an seluruhnya
berbicara untuk manusia atau berbicara tentang manusia.
Dr. Yusuf Qardhawi (1977: 33)
Masyarakat Islam dibentuk karena ideologinya, yaitu Islam,
kata Fazlur Rahman (1980: 43). Ideologi adalah Weltanchauung,
yang menjelaskan realitas dalam perspektif tertentu. Ideologi
adalah cara memandang realitas. Di antara realitas penting
yang diulas ideologi adalah manusia. Toute ideologie precise
d'emblee, tacitement on explicitement, la nature de l'individu
et la place qui lui est assignee daus la groupe, en fonction
de l'objektif social poursuiri. Pour une religion
eschatologique comme l'Islam, dieu sera la reference
primordial et unique puisqu'll est, a la fois, I origine et le
fin de la destine e humaine, tulis Marcel A. Boisard (1979:
84), ketika mengantarkan tulisannya tentang pandangan Qur'ani
mengenai manusia dalam bab Les Fils d'Adam.
Agak mengherankan, walaupun Boisard mengakui pentingnya
filsafat antropologis dalam Islam, ia kemudian menyebutkan
bahwa al-Qur'an diwahyukan untuk memperkenalkan Tuhan kepada
manusia; bukan untuk menjelaskan manusia -non pour expliquer
l'humain (Boisard, 1979: 84). Karena itu dalam seluruh
bukunya, Boisard hampir tidak pernah membahas karakteristik
manusia menurut al-Qur'an, seperti lazimnya filsafat manusia
(philosophic de l'homme). [1]
Dirk Bakker (1965) dalam bukunya Man in the Qur'an, mengulas
manusia dari segi penciptaannya, hubungannya dengan dunia,
sesama manusia, Tuhan, dan fungsi manusia sebagai hamba Tuhan,
tapi tidak membahas principe d'entre manusia.
Adalah Rahman (1980), yang secara khusus menjelaskan principe
d'entre manusia ini. Agak terperinci, ia menjelaskan perbedaan
manusia dengan makhluk lain. Semuanya dapat disimpulkan dalam
kalimatnya,
The only different is that while every other creature follows
its nature automatically, man ought to follow his nature; this
tranformation of the is into ought is both fhe unique
privelege and the unique risk of man (Rahman, 1980: 24)
Rahman mengulas manusia dengan mengulas pandangan al-Qur'an
tentang kedudukan manusia sebagai individu dan anggota
masyarakat. Ia tidak memulai dari konsep dasar yang digunakan
al-Qur'an untuk mengabsorbsikan manusia. Dalam tulisan
tersebut, juga dalam tulisan lain (Rahman, 1967) --yang
membahas amanah sebagai inti kodrat manusia-- uraian Rahman
tidak berbeda dengan pembahasan al-Ghazali yang lebih klasik
(Lihat Othman, 1960). Mungkin tulisan Mutahhari (tanpa tahun)
dan beberapa tulisan lainnya (Lihat Mutahhari, 1986) membahas
karakteristik khas manusia yang lebih "maju" dari al-Ghazali,
juga walaupun pendek tulisan al-Faruqi (1404: 332). Sayangnya,
seperti Fazlur Rahman, mereka meneliti ayat-ayat al-Qur'an
yang berkenaan dengan manusia, lalu menyimpulkan secara
induktif. Yang kita perlukan di sini, sebetulnya menemukan
bagaimana al-Qur'an memberi makna tentang konsep-konsep dasar
manusia. Dengan kata lain, kita mengidentifikasikan
istilah-istilah al-Qur'an tentang manusia, kemudian mengenal
bidang semantik setiap istilah itu, sebagaimana digunakan
dalam al-Qur'an.
Saya sangat terkesan dengan Izutsu (1964, 1965) yang
memperkenalkan metodologi semantik [2] dalam memahami
konsep-konsep dasar al-Qur'an. Tidak mungkin dalam makalah
ini, saya menguraikannya secara terperinci. Izutsu sendiri
berkata, Unfortunately, what is called semantics today is so
bewilderingly complicated. It is extremely difficult, if not
absolutely impossible, for an outsider even to get a general
idea of what it is like (Izutsu, 1964: 10). Malangnya di
samping makalah ini tidak dimaksudkan untuk itu, penulis
makalah ini juga outsider. Jadi, dengan resiko salah beberapa
langkah.
Pertama, kita memilih istilah-istilah kunci (key-terms) dari
vocabulary al-Qur'an, yang kita anggap merupakan unsur
konseptual dasar dari Weltanschauung Qur'ani ini. Kedua, kita
menentukan makna pokok (basic meaning) dan makna nasabi
(relational meaning). Makna pokok yang berkenaan dengan
constant semantic element which remains attached to the word
whereever it goes and however it is used (Izutsu, 1964: 19).
Makna nasabi adalah makna tambahan yang terjadi karena istilah
itu dihubungkan dengan konteks di mana istilah itu berada.
Ketiga, kita menyimpulkan weltanschauung yang menyajikan
konsep-konsep itu dalam satu kesatuan.
Ketika Izutsu membahas kosep Tuhan dan manusia dalam
al-Qur'an, ia menyebut pembahasannya sebagai semantics of the
Koranic weltanschauung. Ia mengambil konsep Allah sebagai
istilah kunci dan menjelaskan hubungan konsep itu dengan
manusia. Ia menyebutkan tiga hubungan ontologis, hubungan
komunikasi nonlinguistik, dan hubungan komunikasi linguistik.
Ia sama sekali tidak menyebut berbagai konsep yang digunakan
al-Qur'an untuk merujuk manusia. Tulisan ini mengambil jalan
lain. Pertama, akan dibahas istilah-istilah kunci manusia dan
bidang semantiknya. Kedua, akan dibahas implikasi dari bidang
semantik tersebut untuk memperoleh gambaran tentang
Weltanschauung Qur'ani.
BASYAR, INSAN, DAN AL-NAS
Dalam al-Qur'an, ada tiga istilah kunci yang mengacu kepada
makna pokok manusia: basyar, insan, dan al-Nas. Ada
konsep-konsep lain yang jarang dipergunakan dalam al-Qur'an
dan dapat dilacak pada salah satu di antara tiga istilah kunci
di atas, unas, anasiy, insiy, ins. Unas disebut lima kali
dalam al-Qur'an (2:60; 7:82; 70:160; 17:71; 27:56) dan
menunjukkan kelompok atau golongan manusia. Dalam QS. 2:60,
misalnya, unas digunakan untuk menunjukkan 12 golongan dalam
Bani Israil. Surat 17:21 dengan jelas menunjukkan makna ini
pada hari kami memanggil setiap unas dengan imam mereka.
Anasiy hanya disebut satu kali (25:49). Anasiy dalam bentuk
jamak dari insan, dengan mengganti nun atau ya atau boleh juga
bentuk jamak dari insiy, seperti kursiy, menjadi karasiy
(Lihat al-Thabrasi, 1937), yang merupakan bentuk lain dari
insan. Ins disebut 18 kali dalam al-Qur'an, dan selalu
dihubungkan dengan jinn sebagai pasangan makhluk manusia yang
mukallaf (6:112, 128, 130; 7:38, 179; 17:88; 27:17; 41:25, 29;
46:18; 51:56; 55:33, 39, 56, 74; 72:5, 6).
Basyar. Marilah kita kembali kepada ketiga istilah kunci tadi.
Basyar disebut 27 kali. [3] Dalam seluruh ayat tersebut,
basyar memberikan referensi pada manusia sebagai makhluk
biologis. Lihatlah bagaimana Maryam berkata, Tuhanku,
bagaimana mungkin aku mempunyai anak, padahal aku tidak
disentuh basyar (3:47); atau bagaimana kaum yang diseru para
nabi menolak ajarannya, karena nabi hanyalah basyar --manusia
biasa yang "seperti kita," bukan superman. Kata Basyar
dihubungkan dengan mitslukum (tujuh kali) dan mitsluna (enam
kali) diantara ayat-ayat tersebut di muka. Nabi Muhammad saw,
disuruh Allah menegaskan bahwa secara biologis, ia seperti
manusia yang lain, Katakanlah, aku ini manusia biasa (basyar)
seperti kamu, hanya saja aku diberi wahyu bahwa Tuhanmu ialah
Tuhan yang satu (18:110; 41:6). Tentang para Nabi, orang-orang
kafir selalu berkata, Bukankah ia Basyar seperti kamu, ia
makan apa yang kamu makan, dan ia minum apa yang kamu minum
(33:33). Ayat ini ditegaskan dalam QS. 25: 7, Mereka berkata,
Bukankah Rasul itu memakan makanan dan berjalan-jalan di
pasar; dan QS. 25: 20, Dan tidak Kami utus sebelummu para
utusan kecuali mereka itu memakan makanan dan berjalan-jalan
di pasar. Ketika wanita-wanita Mesir takjub melihat ketampanan
Yusuf as., mereka berkata, Ya Allah, ini bukan basyar, tapi
ini tidak lain kecuali malaikat yang mulia (12:31).
Secara singkat konsep basyar selalu dihubungkan dengan
sifat-sifat biologis manusia: makan, minum, seks, berjalan di
pasar. Dari segi inilah, kita tidak tepat menafsirkan basyarun
mitslukum sebagai manusia seperti kita dalam hal berbuat dosa.
Kecenderungan para Rasul untuk tidak patuh pada dosa dan
kesalahan bukan sifat-sifat biologis, tapi sifat-sifat
psikologis (atau spiritual). Sama tidak tepatnya untuk tidak
menafsirkan Sesungguhnya telah kami jadikan insan dalam bentuk
yang sebaik-baiknya (95: 4) dengan menunjukkan karakteristik
fisiologi manusia. Yusuf Ali (1977: 1759) dengan tepat
menafsirkan ayat ini to man God gave the purest and the best
nature, and man's duty is to preserve the pattern on which God
has made him (QS 30:30). Al-Syaukani (1964, 5: 465)
menyebutkan umumnya para mufasir mengartikan ayat ini untuk
menunjukkan kelebihan manusia secara fisiologis: berjalan
tegak, dan makan dengan menggunakan tangan. Tapi Ibn 'Arabi
berkata, Tak ada makhluk Allah yang lebih bagus daripada
manusia. Allah membuatnya hidup, mengetahui, berkuasa,
berkehendak, berbicara, mendengar, melihat, dan memutuskan,
dan ini adalah sifat-sifat rabbaniyah.
Insan. Sekali lagi, kekeliruan penafsiran, umumnya para
mufassir bermula dari salah paham tentang semantic field
istilah insan, yang berbeda dengan basyar. Insan disebut 65
kali dalam al-Qur'an. [4] Kita dapat mengelompokkan konteks
insan dalam tiga kategori. Pertama, Insan dihubungkan dengan
keistimewaannya sebagai khalifah atau pemikul amanah. kedua,
Insan dihubungkan dengan predisposisi negatif diri manusia.
Dan ketiga Insan dihubungkan dengan proses penciptaan manusia.
Kecuali kategori ketiga yang akan kita jelaskan kemudian,
semua konteks insan menunjuk pada sifat-sifat psikologis atau
spiritual.
Pada kategori pertama, kita melihat keistimewaan manusia
sebagai wujud yang berbeda dengan hewani. Menurut al-Qur'an,
manusia adalah makhluk yang diberi ilmu, Yang mengajar dengan
pena, mengajar insan apa yang tidak diketahuinya. [5] (96: 4,
5), "Ia mengajarkan (insan) al-bayan" [6] (55: 3). Manusia
diberi kemampuan mengembangkan ilmu dan daya nalarnya. Karena
itu juga, kata insan berkali-kali dihubungkan dengan kata
nazhar. Insan disuruh menazhar (merenungkan, memikirkan,
menganalisis, mengamati) perbuatannya (79: 35), proses
terbentuknya makanan dari siraman air hujan hingga
terbentuknya buah-buahan (80: 24-36), dan penciptaannya (86:
5). Dalam hubungan inilah, setelah Allah menjelaskan sifat
insan yang tidak labil, Allah berfirman, Akan Kami perlihatkan
kepada mereka (insan) tanda-tanda Kami di alam semesta ini dan
pada diri mereka sendiri sehingga jelas baginya bahwa ia itu
al-Haq (41: 53).
Kedua, manusia adalah makhluk yang memikul amanah (33: 72).
Menurut Fazlur Rahman (1967: 9), amanah adalah menemukan hukum
alam, menguasainya atau dalam istilah al-Qur'an "mengetahui
nama-nama semuanya" dan kemudian menggunakannya, dengan
inisiatif moral insani, untuk menciptakan tatanan dunia yang
baik. (Al-Thabathabai, tt, 351-352) mengutip berbagai pendapat
para mufassir tentang makna amanah dan memilih makna amanah
sebagai predisposisi (isti'dad) untuk beriman dan mentaati
Allah. Di dalamnya terkandung makna khilafah, manusia sebagai
pemikul al wilayah al-ilahiyyah. Amanah inilah yang dalam
ayat-ayat lain disebutkan sebagai perjanjian (ahd, mitsaq,
'isr). [7] Predisposisi untuk beriman inilah yang digambarkan
secara metaforis [8] dalam surat 7:172.
Ketiga, karena manusia memikul amanah, maka insan dalam
al-Qur'an juga dihubungkan dengan konsep tanggung jawab (75:
36; 75:3; 50:16). Ia diwasiatkan untuk berbuat baik (29:8;
31:14; 46:15); amalnya dicatat dengan cermat untuk diberi
balasan sesuai dengan apa yang dikerjakannya (53: 39). Karena
itu, insanlah yang dimusuhi setan (17:53; 59:16) dan
ditentukan nasibnya di hari Qiyamat (75:10, 13, 14; 79:35;
80:17; 89:23).
Keempat, dalam menyembah Allah, insan sangat dipengaruhi
lingkungannya. Bila ia ditimpa musibah, ia cenderung menyembah
Allah dengan ikhlas; bila ia mendapat keberuntungan, ia
cenderung sombong, takabur, dan bahkan musyrik (10:12; 11:9;
17:67; 17:83; 39:8, 49; 41:49, 51; 42:48; 89:15).
Pada kategori kedua, kata insan dihubungkan dengan
predisposisi negatif pada diri manusia. Menurut al-Qur'an,
manusia itu cenderung zalim dan kafir (14:34; 22:66; 43:15),
tergesa-gesa (17:11; 21:37), bakhil (17:100), bodoh (33:72),
banyak membantah atau mendebat (18:54; 16:4; 36:77), resah,
gelisah, dan segan membantu (70:19; 20,21), ditakdirkan untuk
bersusah payah dan menderita (84:6; 90:4), tidak berterima
kasih (100:6), berbuat dosa (96:6; 75:5), meragukan hari
akhirat (19:66).
Bila dihubungkan dengan sifat-sifat manusia pada kategori
pertama, insan menjadi makhluk paradoksal, yang berjuang
mengatasi konflik dua kekuatan yang saling bertentangan:
kekuatan mengikuti fitrah (memikul amanat Allah) dan kekuatan
mengikuti predisposisi negatif. Kedua kekuatan ini digambarkan
dengan kategori ayat-ayat ketiga.
Secara menarik proses penciptaan manusia atau asal kejadian
manusia dinisbahkan pada konsep insan dan basyar sekaligus.
Sebagai insan manusia diciptakan dari tanah liat, saripati
tanah, tanah (15:26; 55:14; 23:12; 32:7). Demikian pula basyar
berasal dari tanah liat, tanah (15:28; 38:71; 30:20) dan air
(25:54). Ini mendorong saya untuk menyimpulkan bahwa proses
penciptaan manusia menggambarkan secara simbolis karakteristik
basyari dan karakteristik insani. Menurut Qardhawi (1973: 76),
manusia adalah gabungan kekuatan tanah dan hembusan Ilahi
(bain qabdhat al-thin wa nafkhat al-ruh). Yang pertama, unsur
material dan yang kedua unsur ruhani. Yang pertama unsur
basyari, yang kedua unsur insani. Keduanya harus tergabung
dalam keseimbangan. "Tidak boleh (seorang mukmin) mengurangi
hak-hak tubuh untuk memenuhi hak ruh, dan tidak boleh ia
mengurangi hak-hak ruh untuk memenuhi hak tubuh," kata Abbas
Mahmud al-'Aqqad (1974, 7:381).
Al-Nas. Konsep kunci ketiga ialah al-Nas yang mengacu pada
manusia sebagai makhluk sosial. Inilah manusia yang paling
banyak disebut al-Qur'an (240 kali, lihat 'Abd al-Baqi,
al-Mu'jam; pada kata al-Nas). Tak mungkin dalam makalah
singkat ini, kita menjelaskan seluruh bidang semantik istilah
al-Nas. Cukuplah di sini ditunjukkan beberapa hal yang
memperkuat pertanyaan pada awal paragraf ini --yakni, al-Nas
menunjuk pada manusia sebagai makhluk sosial.
Pertama, Banyak ayat yang menunjukkan kelompok-kelompok sosial
dengan karakteristiknya. Ayat-ayat itu lazimnya dikenal dengan
ungkapan wa min al-Nas (dan diantara sebagian manusia). Dengan
memperhatikan ungkapan ini, kita menemukan kelompok manusia
yang menyatakan beriman, tapi sebetulnya tidak beriman (2:8),
yang mengambil sekutu terhadap Allah (2:165), yang hanya
memikirkan kehidupan dunia (2:200), yang mempesonakan orang
dalam pembicaraan tentang kehidupan dunia, tetapi memusuhi
kebenaran (2:204), yang berdebat dengan Allah tanpa ilmu,
petunjuk, dan al-Kitab (22:3,8; 31:20), yang menyembah Allah
dengan iman yang lemah (22:11; 29:10), yang menjual
pembicaraan yang menyesatkan (31:6); di samping ada sebagian
orang yang rela mengorbankan dirinya untuk mencari kerelaan
Allah.
Kedua, dengan memperhatikan ungkapan aktsar al-Nas, kita dapat
menyimpulkan, sebagian besar manusia mempunyai kwalitas
rendah, baik dari segi ilmu maupun dari segi iman. Menurut
al-Qur'an sebagian manusia itu tidak berilmu (7:187; 12:21;
28,68; 30:6, 30; 45:26; 34:28,36; 40:57), tidak bersyukur
(40:61; 2:243; 12:38), tidak beriman (11:17; 12:103; 13:1),
fasiq (5:49), melalaikan ayat-ayat Allah (10:92), kafir
(17:89; 25:50), dan kebanyakan harus menanggung azab (22:18).
Ayat-ayat ini dipertegas dengan ayat-ayat yang menunjukkan
sedikitnya kelompok manusia yang beriman (4:66; 38:24; 2:88;
4:46; 4:155), yang berilmu atau dapat mengambil pelajaran
(18:22; 7:3; 27:62; 40:58; 69:42), yang bersyukur (34:13;
7:10; 23:78; 67:23; 32:9), yang selamat dari azab Allah
(11:116), yang tidak diperdayakan syetan (4:83). Surat 6116
menyimpulkan bukti kedua ini, Jika kamu ikuti kebanyakan yang
ada di bumi, mereka akan menyesatkanmu dari jolan Allah.
Ketiga, al-Qur'an menegaskan bahwa petunjuk al-Qur'an bukanlah
hanya dimaksudkan pada manusia secara individual, tapi juga
manusia secara sosial. Al-Nas sering dihubungkan al-Qur'an
dengan petunjuk atau al-Kitab (57:25; 4:170; 14:1; 24:35;
39:27; dan sebagainya).
WELTANSCHAUUNG QUR'ANI TENTANG MANUSIA
Dari uraian di muka tampak al-Qur'an memandang manusia sebagai
makhluk biologis, psikologis dan sosial. Sebagaimana ada
hukum-hukum yang berkenaan dengan karakteristik biologis
manusia, maka ada juga hukum-hukum yang mengendalikan manusia
sebagai makhluk psikologis dan makhluk sosial.
Manusia sebagai basyar berkaitan dengan unsur material, yang
dilambangkan manusia dengan unsur tanah. Pada keadaan itu,
manusia secara otomatis tunduk kepada takdir Allah di alam
semesta, sama taatnya seperti matahari, hewan dan
tumbuh-tumbuhan. Ia dengan sendirinya musayyar. Namun manusia
sebagai insan dan al-Nas bertalian dengan unsur hembusan
Ilahi. Kepadanya dikenakan aturan-aturan, tapi ia diberikan
kekuatan untuk tunduk atau melepaskan diri daripadanya. Ia
menjadi mahkluk yang mukhayyar. Ia menyerap sifat-sifat
rabbaniah menurut ungkapan Ibn Arabi, seperti sama', bashar,
kalam, qadar. Ia mengemban wilayah Ilahiyah, seperti kata
al-Thabathabai. Karena itu, ia dituntut untuk bertanggung
jawab.
Karena pada manusia ada predisposisi negatif dan positif
sekaligus, menurut al-Qur'an, kewajiban manusia ialah
memenangkan predisposisi positif. Ini terjadi bila manusia
tetap setia pada amanah yang dipikulnya. Secara konkrit
kesetiaan ini diungkapkan dengan kepatuhan pada syari'at Islam
yang dirancang sesuai amanah. Al-Qur'an tak lain merupakan
rangkaian ayat yang mengingatkan manusia untuk memenuhi
janjinya itu.
Ada dua komponen esensial yang membentuk hakikat manusia yang
membedakannya dari binatang, yaitu potensi mengembangkan iman
dan ilmu. Usaha untuk mengembangkan keduanya disebut 'amal
shalih. "Karenanya, kita menyimpulkannya bahwa ilmu dan iman
adalah dasar yang membedakan manusia dari makhluk lainnya.
Inilah hakikat kemanusiaannya," tulis Mutahhari (tt.: 17).
Keduanya harus dikembangkan secara seimbang.
Dalam pandangan al-Qur'an, sedikit sekali orang yang dapat
mengembangkan ilmu dan iman ini sekaligus. Sedikit orang yang
beriman, sedikit orang yang berilmu, dan lebih sedikit lagi
orang yang beriman dan berilmu. Kelompok terakhir inilah yang
disebut al-Qur'an, "Allah mengangkat derajat orang-orang yang
beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu" (QS.
58:11). Makna hidup manusia diukur sejauh mana ia berhasil
beramal sebaik-baiknya, yakni sejauh mana ia mengembangkan
iman dan ilmunya. Ia lah yang menciptakan kehidupan dan
kematian untuk menguji kamu siapa diantara kamu yang paling
baik amalnya (QS. 67:2). Sesungguhnya kami jadikan apa yang
ada dipermukaan bumi sebagai perhiasan untuk menguji mereka,
siapa diantara mereka yang paling baik amalannya (18:7). Bila
Sartre mengatakan hidup ini absurd, al-Qur'an menyatakan hidup
ini medan untuk membuktikan 'amal shalih.
CATATAN
1. Obyek formal dari filsafat manusia ialah inti manusia, alam
kodratnya strukturnya yang fundamental. "Apa yang ingin
ditelaah bukanlah suatu makhluk, sebuah benda, tapi suatu
prinsip adanya (principe d'etre). Sesuatu yang olehnya manusia
menjadi apa yang terwujud, sesuatu yang olehnya manusia
mempunyai karakteristik yang khas, sesuatu yang olehnya ia
merupakan sebuah nilai yang unik." tulis Leahy (1985: 11)
2. Metodologi semantik didefinisikan sebagai an analytic study
of the key-terms of language with a view to arriving
eventually at a conceptual grasp of the Weltanschauung or
world-view of the people who use that language as tool not
only of speaking and thinking, but, more important still, of
conceptualizing and interpreting the world that surround them
(Izutsu, 1964:11)
3. Lihat al-Baqi, al-Mu'jam.
4. Karena banyak, pembaca dianjurkan melihat sendiri dalam
Al-Baqi, Mu'jam.
5. Dr Muhammad Mahmud Hijazi (1968,30:65) menjelaskan ayat
ini, "Allah telah memberi manusia gairah dan kemampuan untuk
meneliti dan menyelidiki untuk mengadakan percobaan sehingga
sampai pada pengetahuan tentang rahasia alam semesta serta
tabiat segala hal. Lalu ia menundukkan semuanya untuk berbakti
memenuhi kehendak manusia."
6. Al-Bayan ditafsirkan sebagai kemampuan berbicara,
pengetahuan tentang halal dan haram, kemampuan mengembangkan
ilmu. Lihat al-Syaukani (1964, 5:131), al-Thabathabai (TT,
19:95)
7. Abd al-Karim Biazar menulis tentang the Covenant in the
Qur'an sebagai kunci yang mempersatukan ayat-ayat dalam setiap
surat al-Qur'an. Surat-surat dalam al-Qur'an mengingatkan
manusia pada perjanjian Allah, yang terdiri dari pihak pertama
(Allah) pihak kedua (Manusia), nikmat Allah, daftaer kondisi
yang harus dipenuhi pihak kedua, janji, ancaman, saksi, sumpah
dengan ayat-ayat Allah, tanda-tanda yang berjanji, dan
pelajaran dari masa lalu. Biazar (1366) banyak memberikan
contoh-contoh yang menarik.
8. Tentang perjanjian manusia di alam dzarrah ini, terjadi
banyak ikhtilaf di kalangan mufassir. Uraian berbagai pendapat
tersebut beserta kritiknya disajikan lengkap oleh Subhani
(1400:75 106).
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abd al Baqi, Muhammad Fuad, Tanpa tahun, Al-Mu'jam al Mufahras
Li al-Alfazh al Qur'an al-Karim, Beirut: Dar el-fikr.
Al-'Aqqad Abbas Mahmud, 1974, "Al-lnsan fil Qur'an" dalam
Al-A'mal al-Kamilah, jilid 7, Beirut: Dar al-Kutub al-Lubuani.
Al-Faruqi, Ismail, 1404, "Nazhriyat al-lnsan fi 'l- Qur'an,"
al-Tawhid, no 9, tahun 2.
Ali, Yusuf 1977, The Holy al-Qur'an American Trust
Publication.
Al-Syaukani, Muhammad bin Ali. 1964, Fath al-Qadir Kairo:
Mustafa Al-Babi al-Halbi.
Al-Thabathabai, Muhamad Hussein, Al-Mizan fi 'l-Tafsir
al-Qur'an, Qum: Al-Hauza al-Ilmiyah.
Al-Thabrasi, Abu Ali Al-Fadhl, 1937. Majma' al-Bayan, Sida:
A1-Irfan
Bakker, Dirk. 1966, Man in The Qur'an, Amsterdam: Drukkerrij
Holland NV:
Biazard, Ahd al Karim, 1356. The Covenant in The Koran,
Penerbit tidak diketahui.
Boisard, Marcel A, 1978, L'humanisme de L'Islam, Paris: Albin
Michel.
Hijazi, Muhammad Mahmud, 1968, Al-Tafsir al-Wadhih Kairo:
A1-Istiqdal al-Kubra.
Izutsu, Toshihiko. 1964, God and Man in The Koran, Tokyo Keio
Institute of Cultural and Linguistic Studies.
------, 1966, Ethico Religious Concepts in the Qur'an,
Montreal: McGill University Press.
Leahy, Louis, 1986, Manusia: Sebuah Misteri, Jakarta:
Gramedia.
Mutahhari, Murtadha, Tanpa tahun, Al-Insan wa 'l-Iman Teheran:
Muassasah al-Bi'tsah.
------, 1986. Manusia dan Agama, Bandung: Mizan.
Othman, Ali Issa, 1960, The Concept of Man in Islam in the
writings of Al Ghazali, Kairo: Dar al-Maaref
Qardhawi, Yusuf. 1973. Al-Iman wa 'l-Hayat, Maktabah Wahbah.
------, 1977. Al-Khashaish al-Amimah li 'l-Islam. Maktabah
Wahbah
Rahman, Fazlur, 1965, The Qur'anic Concept of God, the
universe, and Man. Islamic Studies, March 1967, VI: 1.
------, 1980. Major Themes of the Qur'an. Chicago: Bibliotheca
Islamica
Subhani, Ja'far, 1400. Ma'alim al-Tawhid fi 'l-Qur'an
al-Karim. Qum: Antara lain Khayyam.
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174
0 komentar:
Posting Komentar