Senin, 04 Juli 2011

0 Bahasan atas Kritik terhadap Filsafat Hukum Hegel (1844) dan Uraian-uraian Tentang Feuerbach (1845)



Oleh Karim al-Marqiy (Perhimpunan Muda)

I

Marx menulis karya-karya pendek di atas dalam konteks kedudukan kritisnya, baik terhadap Hegel maupun Feuerbach. Sejalan dengan Kaum Hegelian Muda, Marx tidak mentah-mentah menerima dogma Hegel. Tapi, berlainan dengan mereka, Marx juga mengambil jarak dengan Feuerbach. Dari keduanya Marx mengambil sesuatu, dan terhadap keduanya juga Marx mengajukan kritiknya.

Tulisan pertama menurut saya merupakan suatu simpul yang mengikat pemikiran Marx, baik dalam upaya kritisnya terhadap Hegel maupun terhadap Feuerbach. Bahasan tentang ‘kritik agama’  di awal tulisan merujuk pada kritik-kritik Hegelian Muda terhadap Kaum Hegelian yang lebih konservatif. Meski Marx mengakui bahwa kritik agama merupakan prasyarat semua kritik, tetapi ia lebih melihatnya sebagai titik pijak awal untuk memulai kritik lebih lanjut.

Subjek filsafat adalah manusia nyata yang menghadapi kehidupan nyata di sekitarnya. Kritik, sejatinya harus menyentuh kehidupan nyata yang di situ manusia hidup. Agama (dalam hal ini baik merujuk agama Kristen Jerman maupun filsafat spekulatif) tiada lain pantulan hasil pergulatan kesadaran manusia dengan dunia yang dihidupinya.
Manusia merupakan pelihat sekaligus penghuni dunia. Sebagai pelihat, manusia memberi nilai-nilai kepada dunianya. Persoalan yang dihadapi dicarikan jawaban-jawabannya; diuraikan dasar-dasarnya. Agama tiada lain hasil permenungan manusia atas kenyataan yang dihadapi. Dalam perkembangannya, agama menjadi seperangkat dogma sumber dari segala sumber copy-paste yang dianggap sebagai sesuatu yang turun dari langit. Kecenderungan untuk memandang agama sebagai sesuatu yang turun dari langit merupakan kecenderungan semua agama yang menyejarah atau menjadi bagian dari pergulatan politik-ekonomi suatu masyarakat.

Islam sebagai seperangkat dogma agama, ajaran kemanusiaan, pandangan hidup, dan teori sosial bisa saya ambil sebagai contoh. Islam merupakan hasil pergulatan bangsa Arab dengan kondisi kehidupannya pada waktu itu. Mekkah merupakan kota transit terbesar sepanjang Jazirah Arabia yang menghubungkan jalur perdagangan Syiria dan Abessinia dalam jaringan perdagangan global. Kemakmuran sebagian orang dan kemelaratan sebagian besar lainnya merupakan kenyataan yang dihadapi Mekkah. Ketimpangan sosial merupakan tampilan tatanan masyarakatnya. Solidaritas kesukuan (ashabiyyah) yang merupakan kekuatan pengikat tradisional masyarakat kesukuan Arab, digantikan oleh solidaritas kelas. Oleh karenanya tidak heran bila Abu Jahal lebih dekat dengan Abu Sofyan, seorang kapitalis-dagang Mekkah, daripada dengan Abu Thalib atau Abdullah saudara kandungnya sendiri yang miskin.
Pengutuban kelas menjadikan masyarakat Mekkah sebagai masyarakat yang rentan. Potensi konflik tinggi. Di luar Mekkah dan kota dagang lainnya, bangsa Arab terpilah-pilah ke dalam kesatuan suku-suku yang bercerai-berai tanpa solidaritas tunggal. Hal ini ditunjukkan oleh kenyataan bahwa setiap suku mempunyai tuhannya masing-masing sehingga, konon, setiap bulan haji ada sekitar tiga ratusan berhala yang berbeda-beda di dalam Ka’bah. Sementara itu, dua kekuatan politik besar pada saat itu, yaitu Imperium Bizantium dan Sasanid-Persia, mengancam di barat dan utara. Baik secara politik maupun ekonomi, Jazirah Arabia merupakan tempat potensial yang pasti akan dikuasai oleh salah satu kekuatan tersebut. Belum mulainya penaklukan terhadap Arabia karena keduanya masih terlibat perang yang menyita energi. Sebagai bangsa yang belum mempunyai kesatuan politik setingkat negara, Arab merupakan bangsa yang berpotensi untuk dicaplok salah satu dari dua negara adidaya. Pada saat itulah Muhammad, seorang kuli penuntun onta yang berpandangan luas karena pergaulan dan pengalamannya memahami kenyataan masa depan potensial yang akan dihadapi bangsanya: dijajah.

Muhammad menarik pelajaran dari hasil pengamatannya. Prinsip ajarannya meliputi tiga hal penting. Pertama, perlu persatuan bangsa Arab dalam satu kesatuan politik dan ekonomi. Kedua, harus ada upaya mengikis kesenjangan sosial-ekonomi yang berpotensi konflik dan memecah belah bangsa Arab. Ketiga, bangsa Arab harus mengembangkan pranata-pranata penting untuk mewujudkan masyarakat negara di suatu hari nanti, terutama dasar peradaban: baca-tulis. Prinsip pertama diwakili oleh ajaran tauhid atau pengesaan tuhan. Bangsa Arab yang terpecah-belah karena solidaritasnya terbatas di lingkup suku-suku yang menjunjung tuhan masing-masing harus dipersatukan.
Untuk itu, perlu Tuhan bersama yang bisa menyatukan semua suku.

Prinsip kedua mewujud ke dalam ajaran-ajaran kepedulian sosial dan pembagian kesejahteraan untuk mengikis kesenjangan dalam tatanan masyarakat. Perintah-perintah untuk zakat, shadaqah, membantu janda-janda miskin dan anak yatim piatu, membebaskan budak, dan sebagainya, tiada lain merupakan upaya Muhammad untuk menumbuhkan lembaga-lembaga yang berfungsi untuk mengurangi kesenjangan ekonomi dalam masyarakat di masa pertumbuhan Mekkah sebagai kota transit dagang terpenting yang menghubungkan Asia (lewat Abessinia atau Hadramaut) dan Eropa (melalui Syiria).

Prinsip ketiga mewujud dalam ajaran untuk membaca (iqra!). Muhammad menyadari bahwa peradaban dua negara adidaya yang mengancam bangsa Arab dilandasi oleh kemampuan baca-tulis. Kemampuan ini merupakan landasan untuk administrasi negara yang kelak akan didirikannya. Tanpa kemampuan baca-tulis memadai, bangsa Arab tidak akan bisa menanggulangi kekuatan negara lain yang akan mencaploknya.

Sejarah ringkas di atas menunjukkan bahwa ajaran-ajaran Islam yang diyakini oleh muslim, pada mulanya merupakan pantulan kesadaran atas kenyataan yang dihadapi bangsa Arab. Agama bukanlah sebuah paket ‘teori’ lengkap yang dijatuhkan dari langit sekali jadi. Agama merupakan hasil dialektika antara masyarakat dan kenyataan yang dihadapi. Agama tiada lain perwujudan dari ‘diri masyarakat’ yang berproses menegasi-mengafirmasi atas diri dan kenyataan yang dihadapi terus-menerus. Agama adalah produk sejarah manusia. Dalam versi yang lebih mikro, kita bisa perhatikan ‘agama’ dari lapisan sosial yang berbeda.
Dalam lapisan sosial berbeda, agama menyuarakan sesuatu yang berbeda pula. Situasi kelas atau pengalaman individu dalam suatu masyarakat merupakan kenyataan yang di situ ‘sentimen keagamaan’ memasuki proses negasi-afirmasi; penyesuaian dengan lingkungan sehingga ajaran-ajaran agama besar apa pun dan di manapun akan mengalami percabangan dan perpecahan. Karena agama tiada lain adalah hasil persatuan antara teori dan kenyataan yang menyejarah. Ketika beberapa ajaran agama di suatu tempat dan waktu bersifat menindas atau diskriminatif, sebenarnya itulah kenyataan tempat agama itu muncul dan menyejarah. Islam menjadi patriarkhat karena masyarakat Arab adalah masyarakat yang patriarkhi. Ajaran-ajaran Islam banyak menggunakan istilah atau idiom dunia perdagangan, karena Islam muncul dalam masyarakat kapitalis-perdagangan Mekkah.

Persoalannya kemudian adalah munculnya kepercayaan dogmatik bahwa agama adalah seperangkat paket teori siap pakai yang diturunkan dari langit yang berlaku kapan pun di mana pun.
Teori telah selesai. Penyatuan antara Rasio dan kenyataan sudah sampai di akhir tujuan. Kenyataan harus disesuaikan dengan ‘teori’.

Kritik terhadap agama; tepatnya teologi, merupakan suatu dasar dari kritik berikutnya yang lebih mendasar, yaitu kritik terhadap masyarakat tempat agama itu muncul, menyejarah, dan menjadi pandangan dunia bagi manusia yang menganutnya; pandangan dunia yang melihat dunia secara terbalik.
Kritik tidak boleh berhenti hanya sampai pada kritik teori.

Penderitaan, kemiskinan, dan kesengsaraan yang dialami manusia-manusia individual dari kalangan tertindas merupakan kenyataan yang harus diselesaikan di dunia ini sekarang melalui praxis atau akitivitas “kritik-praktis”, bukan dengan melarikan diri ke langit menanti masa depan yang absurd bernama akhirat. Ketika masyarakat cenderung melarikan diri ke langit dan tidak menyelesaikan persoalan yang dihadapinya, maka pada saat itulah agama menjadi candu; menjadi obat penenang atau hiburan yang melenakan sehingga seolah-olah penderitaan itu tidak ada. Karena itulah manusia terasing dari dirinya sendiri dan dari kenyataan yang dihadapinya sendiri. Manusia menyerahkan haknya untuk memaknai kehidupannya kepada kekuatan di luar dirinya dan merasa cukup dengan perbaikan-perbaikan ilusif atas kondisinya.

Dalam Uraian tentang Feuerbach, Marx mengajukan kritik ontologis terhadap kaum materialis yang menjadikan manusia hanya sekadar ‘suatu objek’ permenungan. Feuerbach hanya menggeluti permasalah manusia abstrak dan terjebak ke dalam pandangan a-historis tentang manusia. Di sinilah Marx kembali ke Hegel dan menolak Feuerbach. Bagi Marx, manusia tiada lain adalah manusia yang menyejarah, manusia yang mengalami penderitaan nyata di dalam suatu tatanan sosial yang berubah terus sepanjang sejarah. Feuerbach dianggap Marx hanya berupaya memahami dunia abstrak saja tanpa tujuan mengubah sumber pemantulnya. Marx menyatukan theoria dan praxis ketika Feuerbach dan Hegelian Muda lainnya hanya berkutat pada theoria tentang dunia.
II

Dari pembahasan Marx atas Hegel dan Hegelian Muda, bisa dibayangkan beberapa hal. Pertama, Hegel telah mengakui kesatuan subjek (Rasio) dengan objek (Sejarah) dalam wujud negara modern dan agama Kristen Jerman. Kalau tidak salah, dalam buku Filsafat Sejarah, Hegel menempatkan negara modern dan agama Kristen Jerman (Protestan) sebagai titik akhir perjalanan Rasio dalam mencapai penyatuan dengan dirinya sendiri melalui sejarah. Kontradiksi telah terhapus dalam wilayah pemikiran. Bentuk-bentuk sosial dan politik sudah cukup sejalan dengan prinsip-prinsip Rasio, sehingga potensi tertinggi manusia bisa dikembangkan melalui pengembangan bentuk sosial yang telah ada. Kenyataan harus disesuaikan dengan teori.

Dari tesis Hegel tersebut, dapat dibayangkan bahwa kaum Hegelian Muda menyangkal. Bagi mereka, teori itu sendiri belum selesai. Kesadaran (Rasio) belum sampai di titik akhir. ‘Agama’ adalah sebentuk teori (subjek) yang menyejarah dan terus-menerus berdialektika dengan kenyataan (objek). Kajian David Strauss dan Feuerbach tentang kekristenan secara historis bisa dibayangkan ditulis dalam rangka menolak telah selesainya penyatuan Subjek-Objek; Rasio-Kenyataan. ‘Agama’ tidak hanya belum selesai, tetapi harus dikritisi. Tetapi, Hegelian Muda merasa cukup puas dengan kritik atas ‘Agama’; terhadap teori atau kesadaran modern (yang diwakili filsafat Hegel). Dari sinilah Marx memulai kritiknya terhadap rekan-rekan Hegelian Mudanya. Bagi Marx, sejarah atau tempat bergulatnya rasio dan kenyataan, belumlah selesai. Alih-alih hanya mengkritik rasio modern, Marx juga mengajukan kritik terhadap kenyataan yang menjadi objek dari rasio modern. Oleh karena itu, Marx mengembangkan lebih lanjut kritik Feuerbach. Marx memulai kritik di tempat Feuerbach berhenti.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Nikychoy Synyster Blog Copyright © 2011 - |- Template created by Niky Choy