ABSTRAK
Kompetensi merupakan sebuah konsep yang masih sering diperdebatkan
secara sengit, tergantung siapa yang menggunakan konsep itu. Pendukung kurikulum
berbasis kompetensi (KBK) yakin bahwa KBK dapat meningkatkan pendidikan atau
pelatihan dan persyaratan kerja. KBK bersifat individualis, lebih menekankan
outcomes (apa yang diketahui dan dapat dilakukan oleh seorang individu). KBK
memperjelas apa yang harus dicapai dan standar apa yang digunakan untuk
mengukur pencapaian tersebut. Secara teoritis, KBK menyelesaikan pembedaan
antara tangan dan pikiran, teori dan praktek, dan pendidikan umum dan vokasional.
Pengritik KBK, menengarai KBK sangat simplistis, berpendekatan kompetensi
tunggal, terlalu mahal, birokratis, sarat beban, dan memerlukan banyak waktu.
Terlepas dari kelemahan (internal) dan kendala (eksternal) tersebut, KBK merupakan
sebuah pendekatan dalam pengambilan kebijakan dalam pendidikan. Maka dari itu,
prinsip dasar yang harus digunakan untuk menjadikan KBK sebuah realita dalam
pendidikan nasional kita, dan bukan sebuah mitos adalah dengan mengubah
kelemahan dan kendalanya menjadi sebuah kekuatan dan peluang.
1. PENDAHULUAN
Selama kurun waktu 59 tahun, pendidikan tinggi di Indonesia mengalami
perubahan kurikulum beberapa kali. Berdasarkan atas Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional model kurikulum
untuk meningkatkan mutu pendidikan yang diterapkan di semua jenjang pendidikan di
Indonesia adalah berbasis kompetensi (selanjutnya: KBK). KBK dimaksudkan untuk
dapat mencapai keunggulan bangsa, sehingga mampu bersaing di dunia (nation
competetiveness) (Depdiknas,2002d:4; Mulyasa,2002:8; cf.Higher Education Long-Term
Strategy,2003).
Dewasa ini, situasi pendidikan di Indonesia sangat kurang menguntungkan.
Secara makro, pendidikan di Indonesia diarahkan untuk menanggulangi dampak krisis
multi-dimensi yang berkelanjutan, antara lain :berkaitan dengan akses masyarakat pada
pendidikan yang berkualitas, pengarus-utamaan jender (gender mainstraiming), perluasan
keterampilan bekal hidup (broad-based education/life skill), demokratisasi pendidikan,
dan desentralisasi pendidikan. Secara mikro, tantangan yang dihadapi dunia pendidikan
di Indonesia, antara lain: meningkatkan daya saing bangsa (nation competetiveness) ,
menciptakan suatu organisasi pendidikan yang sehat (education organization health), dan
pencapaian baku mutu pendidikan (education quality standards), baik di tingkat nasional
maupun internasional. Untuk itu semua, Pemerintah Indonesia menetapkan KBK sebagai
sebuah strategi kurikuler untuk menjawab semua tantangan di atas.
Beberapa kalangan ahli pendidikan berpandangan, bahwa pendidikan berbasis
kompetensi (selanjutnya: PBK) merupakan jawaban jitu terhadap permasalahan mutu
pendidikan. Sedangkan kalangan ahli lainnya berpandangan bahwa PBK merupakan
jawaban yang keliru (Harris dkk.,1995). Awalnya, PBK menuai popularitas di Amerika
Serikat pada tahun tujuh-puluhan sebagai dasar untuk pendidikan vokasional bagi tenaga
kependidikan. PBK juga sangat berkembang di Inggris dan Wales pada awal tahun 1986.
Popularitas PBK cepat merambah Selandia Baru, Australia, dan Indonesia pada sekitar
paruh akhir dari tahun delapan-puluhan. Di satu sisi PBK menuai popularitas, namun di
sisi lain PBK tidak terlepas dari sasaran kritik yang amat pedas. Perdebatan sengit tentang
dampak PBK terjadi di Australia dan Inggris (Chappel, 1996; Ecclestone, 1997; Hyland,
1994).
Tujuan penulisan tentang KBK dimaksudkan sebagai sebuah tinjauan kritis
terhadap aspek-aspek KBK dalam kaitannya dengan manajemen mutu pendidikan
berbasis kompetensi (competency-based education quality improvement). Manfaat yang
dapat dipetik dari mengritisi KBK adalah untuk meningkatkan kesadaran para pendidik
dan tenaga kependidikan lainnya akan pentingnya pengetahuan dan pemahaman yang
benar terhadap KBK, sehingga KBK dapat diimplementasikan sebagai upaya peningkatan
mutu pendidikan secara efisien dan efektif.
Perihal kompetensi berkembang berbagai konsep, dan masing-masing konsep
dibangun sendiri-sendiri oleh pengguna konsep tersebut (Chappell,1996). Proponen PBK
berpandangan bahwa pendekatan kompetensi merupakan suatu cara terbaik untuk
meningkatkan kompetensi (bandingkan: seperangkat tindakan cerdas) yang sejalan
dengan persyaratan di situs kerja tertentu. PBK sifatnya sangat individualis, menekankan
pada outcomes (apa yang diketahui dan apa yang dapat dilakukan), dan prosedurnya
sangat fleksibel (Harris, dkk.,1995). Pendekatan kompetensi memperjelas bagaimana
outcomes dapat dicapai dengan mutu pencapaian menurut standar nasional maupun
internasional. Secara teoritis, PBK meniadakan pembedaan antara ‘tangan dan pikiran’,
teori dan praktek, umum dan spesifik dalam pendidikan (Harris,dkk.,1995). Bagi yang
tidak sejalan (opponents) dengan PBK, mereka menyebutnya PBK sebagai sesuatu yang
sangat reduksionistik, sempit, kaku, teoretis, empiris, dan pedagogis yang sangat tidak
memadai (Chappell, 1996; Hyland, 1994).
Tetapi, ke dua belah pihak tampaknya setuju bila kompetensi tersebut
dikonsepsikan ke dalam bentuk perilaku (behavioral terms) (cf.Anderson dan
Krathwohl,2001). Menurut kerangka pikir behaviorisme, kompetensi lebih mudah diurai
menjadi perilaku (performance) dalam bidang tugas yang sangat terpisah dan dianalisis
secara fungsional menurut peran tugasnya. Analisis demikian sangat tepat dijadikan dasar
untuk merumuskan kompetensi dan alat ukur yang akan digunakan untuk pencapaian
sebuah kompetensi.
KBK merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan
hasil belajar yang harus dicapai siswa, prosedur penilaian, kegiatan belajar-mengajar, dan
pemberdayaan sumber daya pendidikan. KBK berorientasi pada pencapaian hasil
(output-oriented) yang dirumuskan dalam bentuk kompetensi. KBK bertitik tolak dari
kompetensi yang harus dimiliki siswa. Penerapan KBK berorientasi pada pemebalajaran
tuntas (mastery learning), dan kurikulumnya bersifat holistik dan menyeluruh. KBK
sangat menekankan diversifikasi, yakni sekolah dapat mengembangkan, menyusun,
mengevaluasi silabus berdasarkan standar kompetensi yang telah ditetapkan secara
nasional (Depdiknas,2000f:1; Sidi, 2001:8).
Ranah kompetensi yang terdapat dalam KBK, antara lain: kompetensi akademik
(academic competency), kompetensi kehidupan (life competency), dan kompetensi
karakter nasional (national character competency). Untuk mencapai kompetensi tersebut,
maka pembelajaran ditekankan pada bagaimana siswa belajar tentang belajar (learning
how to learn), bukan pada apa yang harus dipelajari oleh siswa (learning what to be
learnt).
II. MITOS ATAU REALITA?
Apakah KBK sebuah mitos? Apakah KBK memberi peluang untuk tercapainya
pembangunan dan perbaikan mutu pendidikan secara teoretis? Terhadap pertanyaan ini,
sebaiknya kritik yang disampaikan oleh para penentang (oponent) KBK perlu
dikemukakan secara rinci.
Pertama, pendekatan KBK yang sangat behavioral sering dicerca karena tidak
memperhatikan hubungan antara tugas, atribut yang melandasi sebuah perilaku, makna,
kemauan, atau disposisi sebuah perilaku atau tindakan, konteks dari perilaku, dan dampak
aspek interpersonal dan etis (Gonczi, 1997; Hayland, 1994). Mengingat sifat dunia nyata
sangat kompleks dan tidak menentu, ditengarai bahwa tujuan-tujuan yang dirumuskan
dalam bentuk perilaku-perilaku terukur tidak dapat sepenuhnya diukur dan diamati
sepenuhnya. Rumusan-rumusan perilaku cenderung bersifat diskrit, sehingga ditengarai
sebagai sebuah upaya mengatomisasi perilaku yang sebenarnya bersifat holistik dan utuh
(intact behaviors) (Jackson, 1994:139). Lagipula, perilaku yang diklaim telah diukur
dianggap sebagai sebuah perilaku akhir (ultimate behavior), walau sesungguhnya
menurut pandangan Konstruktivis bahwa perilaku tersebut bukanlah yang final, tetapi ia
akan direvisi, dikonstruksi ulang, atau diubah menjadi sesuatu yang lebih sempurna
(Hodkinson dan Issitt, 1995; Hayland, 1994).
Kedua, Collins (1993:89) menyebutkan bahwa KBK mengingkari hasil penelitian
yang pernah dilakukan selama 100 tahun di bidang psikologi, pendidikan, organisasi,
maupun dalam bidang kebudayaan. Khususnya, ia tidak sependapat dengan batasan yang
digunakan oleh penganut aliran behaviorisme tentang skill dan competence sebagai
sebuah perilaku yang bersifat sangat individual dan bebas tata nilai. Padahal, skill dan
competence kenyataannya merupakan sebuah konstruksi sosial dan praktek kebudayaan
yang aktif dan kreatif (Collins, 1993; Harris, dkk.,1995). Lebih-lebih lagi, validitas teknik
pengukuran yang didasarkan pada model pembelajaran secara behavioristik sangat
problematik sebagai indikator model pembelajaran yang signifikan (Barry dan Pace,
1997:340).
Ketiga, model pengecekan terhadap pemerolehan kompetensi berdasarkan pada
teknik checklist yang menandai dicapai/tidaknya dicapainya kompetensi dimaksud
dipandang sangat menyederhanakan sebuah persoalan yang sesungguhnya sangat
kompleks. Penilaian terhadap pencapaian sebuah kompetensi yang didasarkan pada
pencapaian kompetensi minimum sangat tidak memotivasi seseorang untuk mencapai
kompetensi standar. Kompetensi minimum hanyalah merupakan tingkatan perilaku yang
dapat diterima (acceptable level of competency), bukan berarti kompetensi minimum
telah berkesesuaian dengan kompetensi standar yang ditetapkan secara nasional maupun
secara internasional (a standard of excellence).
Keempat, Jackson (1994) menilai bahwa KBK bersikap sangat birokratis, terlalu
rumit, mahal, dan membutuhkan waktu yang banyak untuk mengimplementasikan di
sekolah. Adi (2003) menyimpulkan bahwa guru-guru SMU bidang IPS di Propinsi Bali
belum sepenuhnya memiliki kesiapan dalam mengimplementasikan KBK. Hayland
(1996) dalam penelitian menyimpulkan bahwa banyak sekolah atau lembaga pendidikan
di dunia yang tidak bersedia mengimplementasikan KBK.
Kelima, kendatipun pendekatan kompetensi bersifat kompatibel dengan model
pembelajaran kognitif, tetapi KBK tidak cocok diterapkan pada lembaga pendidikan
tinggi (Hayland, 1994:336), karena kompetensi terlalu dibatasi secara sempit (Toobey
dkk.,1995) dan justru kompetensi meniadakan keberadaan sebuah kurikulum serta
mempersempit materi (Jackson,1994; Hayland,1994).
Dapat disimpulkan dari lima kritik terhadap KBK di atas, bahwa KBK hanyalah
merupakan sebuah pendekatan dalam kebijakan (policy approach), sebuah mitos dalam
pendidikan, yang masih perlu dikaji secara intensif sebelum diimplementasikan.
Apakah KBK sebuah realita pendidikan? Apakah KBK memberi peluang untuk
tercapainya pembangunan dan perbaikan mutu pendidikan secara empiris? Terhadap
pertanyaan ini, sebaiknya dukungan yang disampaikan oleh para pendukung (proponent)
KBK perlu dikemukakan di sini.
Pertama, Erridge dan Perry (1994:140) yakin bahwa “… it gives individuals
opportunities to achieve qualifications that relate to required performance in the
workplace…”. Bagi keduanya KBK diyakini memberi peluang bagi seseorang untuk
mencapai kualifikasi yang dibutuhkan. KBK diyakini merupakan sebuah rencana dan
pengaturan tentang kompetensi dan pemberdayaan sumberdaya secara efesien dan efektif
(Depdiknas,2000f:1). KBK diyakini dapat memberikan layanan terhadap peserta didik
sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimilikinya. Dengan demikian, KBK
bukannya menghasilkan lulusan yang memiliki pengetahuan sebanyak-banyaknya,
melainkan lulusan yang memiliki kemampuan dan sikap untuk meningkatkan
kehidupannya di masyarakat (Depdiknas,2002b:8-9).
Kedua, Jones dan Moore (1995) berpendapat bahwa KBK menerapkan
pendekatan kompetensi tunggal (one competency-based approach), yang dapat dengan
mudah dispesifikasi menjadi perilaku-perilaku terukur menurut bidang tugas dan
garapannya.
Ketiga, penetapan kompetensi standar akan memberdayakan individu, sehingga
individu tersebut akan mampu melakukan pilihan di antara apa yang harus dipelajari
(learning what to be learned) dan bagaimana harus belajar (learning how to learn). Velde
dan Hopkins (1994) bahkan menambahkan bahwa dalam KBK “…there is less control
from bureaucratic power-holders and more decision making made by consumers
themselves”. Jadi KBK memberikan kesempatan cukup luas kepada siswa untuk
mencapai kompetensi yang diharapkan sesuai dengan kemampuan dan potensinya
masing-masing. Fleksibilitas pembelajaran dijamin bila menggunakan KBK. Perangkat
KBK bukan lagi menjadi kewenangan pusat melainkan kewenangan daerah sesuai
dengan kondisi dan potensi masing-masing. KBK memberi peluang yang amat besar dan
fleksibel bagi guru/sekolah/daerah untuk mengembangkan potensinya masing-masing
sesuai dengan kebutuhan dan daya dukung masing-masing.
Keempat, target perilaku yang ingin disasar dirumuskan secara jelas untuk setiap
jenjang dan jenis kompetensi. Komponen kompetensi dasar, materi standar, dan indikator
pencapaian hasil belajar ditetapkan dan disajikan secara terpadu. Materi-materi yang
dibentuk diarahkan pada pencapaian sebuah kompetensi. Materi-materi pelajaran tidak
dimaksudkan untuk dihafal melainkan harus diperagakan dan didemonstrasikan agar
tercapai kompetensi dimaksud.
Kelima,guru diberi kesempatan yang luas untuk berkreasi dan mengembangkan
materi-materi pokok secara kreatif agar kompetensi yang ditetapkan sebelumnya terjamin
dapat tercapai oleh siswa. Empat pilar UNESCO, yaitu : learning to know, learning to
do, learning to be, dan learning to live together diakomodasikan secara integratif dan
proporsional dalam pembelajaran siswa. Aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik
diperlakukan sebagai sebuah perilaku yang utuh yang melandasi sebuah kompetensi.
Model pembelajaran berorientasi pada siswa (student-oriented learning). Disamping itu,
kecakapan bekal hidup diakomodasi dalam pembelajaran secara terpadu.
Keenam, sistem pembelajaran tuntas benar-benar diterapkan. Seorang siswa dapat
meneruskan ke jenjang kompetensi yang berikutnya bila ia sudah mencapai kompetensi
sebelumnya sesuai dengan batas kompetensi minimum. Sistem manajemen peningkatan
mutu dilakukan berdasarkan pada manajemen berbasis sekolah dan mengglang partisipasi
aktif dari semua stakeholders yang potensial.
Ketujuh, sistem penilaian yang digunakan bersifat berkelanjutan, yaitu mengacu
pada keberlangsungan proses dan sistem penilaian berbasis kelas (classroom-based
assessment), yang dapat berbentuk tes uraian, porto folio, atau tugas.
Kedelapan, KBK menerapkan sebuah kurikulum berdiversifikasi, yaitu dengan
mengklasifikasi siswa yang berkemampuan normal, sedang atau tinggi. Siswa yang
berkemampuan normal dituntut sebatas memiliki kompetensi minimum, sedangkan siswa
yang memiliki kemampuan tinggi dituntut untuk mencapai kompetensi standar. Guru
diberikan kebebasan untuk menetapkan materi yang cocok untuk siswanya. Dengan
kebebasan tersebut, guru memiliki peluang yang cukup tinggi untuk mengembangkan
materi-materi yang memiliki karakteristik lokal.
Dapat disimpulkan dari ke delapan dukungan positif terhadap KBK di atas,
bahwa KBK bukan saja sebuah pendekatan dalam kebijakan (policy approach), tetapi
KBK dapat direalisasikan dalam pembelajaran di sekolah untuk mengembangkan
kompetensi standar
Apakah KBK sebuah mitos? Apakah KBK memberi peluang untuk tercapainya
pembangunan dan perbaikan mutu pendidikan secara teoretis? Terhadap pertanyaan ini,
sebaiknya kritik yang disampaikan oleh para penentang (oponent) KBK perlu
dikemukakan secara rinci.
Pertama, pendekatan KBK yang sangat behavioral sering dicerca karena tidak
memperhatikan hubungan antara tugas, atribut yang melandasi sebuah perilaku, makna,
kemauan, atau disposisi sebuah perilaku atau tindakan, konteks dari perilaku, dan dampak
aspek interpersonal dan etis (Gonczi, 1997; Hayland, 1994). Mengingat sifat dunia nyata
sangat kompleks dan tidak menentu, ditengarai bahwa tujuan-tujuan yang dirumuskan
dalam bentuk perilaku-perilaku terukur tidak dapat sepenuhnya diukur dan diamati
sepenuhnya. Rumusan-rumusan perilaku cenderung bersifat diskrit, sehingga ditengarai
sebagai sebuah upaya mengatomisasi perilaku yang sebenarnya bersifat holistik dan utuh
(intact behaviors) (Jackson, 1994:139). Lagipula, perilaku yang diklaim telah diukur
dianggap sebagai sebuah perilaku akhir (ultimate behavior), walau sesungguhnya
menurut pandangan Konstruktivis bahwa perilaku tersebut bukanlah yang final, tetapi ia
akan direvisi, dikonstruksi ulang, atau diubah menjadi sesuatu yang lebih sempurna
(Hodkinson dan Issitt, 1995; Hayland, 1994).
Kedua, Collins (1993:89) menyebutkan bahwa KBK mengingkari hasil penelitian
yang pernah dilakukan selama 100 tahun di bidang psikologi, pendidikan, organisasi,
maupun dalam bidang kebudayaan. Khususnya, ia tidak sependapat dengan batasan yang
digunakan oleh penganut aliran behaviorisme tentang skill dan competence sebagai
sebuah perilaku yang bersifat sangat individual dan bebas tata nilai. Padahal, skill dan
competence kenyataannya merupakan sebuah konstruksi sosial dan praktek kebudayaan
yang aktif dan kreatif (Collins, 1993; Harris, dkk.,1995). Lebih-lebih lagi, validitas teknik
pengukuran yang didasarkan pada model pembelajaran secara behavioristik sangat
problematik sebagai indikator model pembelajaran yang signifikan (Barry dan Pace,
1997:340).
Ketiga, model pengecekan terhadap pemerolehan kompetensi berdasarkan pada
teknik checklist yang menandai dicapai/tidaknya dicapainya kompetensi dimaksud
dipandang sangat menyederhanakan sebuah persoalan yang sesungguhnya sangat
kompleks. Penilaian terhadap pencapaian sebuah kompetensi yang didasarkan pada
pencapaian kompetensi minimum sangat tidak memotivasi seseorang untuk mencapai
kompetensi standar. Kompetensi minimum hanyalah merupakan tingkatan perilaku yang
dapat diterima (acceptable level of competency), bukan berarti kompetensi minimum
telah berkesesuaian dengan kompetensi standar yang ditetapkan secara nasional maupun
secara internasional (a standard of excellence).
Keempat, Jackson (1994) menilai bahwa KBK bersikap sangat birokratis, terlalu
rumit, mahal, dan membutuhkan waktu yang banyak untuk mengimplementasikan di
sekolah. Adi (2003) menyimpulkan bahwa guru-guru SMU bidang IPS di Propinsi Bali
belum sepenuhnya memiliki kesiapan dalam mengimplementasikan KBK. Hayland
(1996) dalam penelitian menyimpulkan bahwa banyak sekolah atau lembaga pendidikan
di dunia yang tidak bersedia mengimplementasikan KBK.
Kelima, kendatipun pendekatan kompetensi bersifat kompatibel dengan model
pembelajaran kognitif, tetapi KBK tidak cocok diterapkan pada lembaga pendidikan
tinggi (Hayland, 1994:336), karena kompetensi terlalu dibatasi secara sempit (Toobey
dkk.,1995) dan justru kompetensi meniadakan keberadaan sebuah kurikulum serta
mempersempit materi (Jackson,1994; Hayland,1994).
Dapat disimpulkan dari lima kritik terhadap KBK di atas, bahwa KBK hanyalah
merupakan sebuah pendekatan dalam kebijakan (policy approach), sebuah mitos dalam
pendidikan, yang masih perlu dikaji secara intensif sebelum diimplementasikan.
Apakah KBK sebuah realita pendidikan? Apakah KBK memberi peluang untuk
tercapainya pembangunan dan perbaikan mutu pendidikan secara empiris? Terhadap
pertanyaan ini, sebaiknya dukungan yang disampaikan oleh para pendukung (proponent)
KBK perlu dikemukakan di sini.
Pertama, Erridge dan Perry (1994:140) yakin bahwa “… it gives individuals
opportunities to achieve qualifications that relate to required performance in the
workplace…”. Bagi keduanya KBK diyakini memberi peluang bagi seseorang untuk
mencapai kualifikasi yang dibutuhkan. KBK diyakini merupakan sebuah rencana dan
pengaturan tentang kompetensi dan pemberdayaan sumberdaya secara efesien dan efektif
(Depdiknas,2000f:1). KBK diyakini dapat memberikan layanan terhadap peserta didik
sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimilikinya. Dengan demikian, KBK
bukannya menghasilkan lulusan yang memiliki pengetahuan sebanyak-banyaknya,
melainkan lulusan yang memiliki kemampuan dan sikap untuk meningkatkan
kehidupannya di masyarakat (Depdiknas,2002b:8-9).
Kedua, Jones dan Moore (1995) berpendapat bahwa KBK menerapkan
pendekatan kompetensi tunggal (one competency-based approach), yang dapat dengan
mudah dispesifikasi menjadi perilaku-perilaku terukur menurut bidang tugas dan
garapannya.
Ketiga, penetapan kompetensi standar akan memberdayakan individu, sehingga
individu tersebut akan mampu melakukan pilihan di antara apa yang harus dipelajari
(learning what to be learned) dan bagaimana harus belajar (learning how to learn). Velde
dan Hopkins (1994) bahkan menambahkan bahwa dalam KBK “…there is less control
from bureaucratic power-holders and more decision making made by consumers
themselves”. Jadi KBK memberikan kesempatan cukup luas kepada siswa untuk
mencapai kompetensi yang diharapkan sesuai dengan kemampuan dan potensinya
masing-masing. Fleksibilitas pembelajaran dijamin bila menggunakan KBK. Perangkat
KBK bukan lagi menjadi kewenangan pusat melainkan kewenangan daerah sesuai
dengan kondisi dan potensi masing-masing. KBK memberi peluang yang amat besar dan
fleksibel bagi guru/sekolah/daerah untuk mengembangkan potensinya masing-masing
sesuai dengan kebutuhan dan daya dukung masing-masing.
Keempat, target perilaku yang ingin disasar dirumuskan secara jelas untuk setiap
jenjang dan jenis kompetensi. Komponen kompetensi dasar, materi standar, dan indikator
pencapaian hasil belajar ditetapkan dan disajikan secara terpadu. Materi-materi yang
dibentuk diarahkan pada pencapaian sebuah kompetensi. Materi-materi pelajaran tidak
dimaksudkan untuk dihafal melainkan harus diperagakan dan didemonstrasikan agar
tercapai kompetensi dimaksud.
Kelima,guru diberi kesempatan yang luas untuk berkreasi dan mengembangkan
materi-materi pokok secara kreatif agar kompetensi yang ditetapkan sebelumnya terjamin
dapat tercapai oleh siswa. Empat pilar UNESCO, yaitu : learning to know, learning to
do, learning to be, dan learning to live together diakomodasikan secara integratif dan
proporsional dalam pembelajaran siswa. Aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik
diperlakukan sebagai sebuah perilaku yang utuh yang melandasi sebuah kompetensi.
Model pembelajaran berorientasi pada siswa (student-oriented learning). Disamping itu,
kecakapan bekal hidup diakomodasi dalam pembelajaran secara terpadu.
Keenam, sistem pembelajaran tuntas benar-benar diterapkan. Seorang siswa dapat
meneruskan ke jenjang kompetensi yang berikutnya bila ia sudah mencapai kompetensi
sebelumnya sesuai dengan batas kompetensi minimum. Sistem manajemen peningkatan
mutu dilakukan berdasarkan pada manajemen berbasis sekolah dan mengglang partisipasi
aktif dari semua stakeholders yang potensial.
Ketujuh, sistem penilaian yang digunakan bersifat berkelanjutan, yaitu mengacu
pada keberlangsungan proses dan sistem penilaian berbasis kelas (classroom-based
assessment), yang dapat berbentuk tes uraian, porto folio, atau tugas.
Kedelapan, KBK menerapkan sebuah kurikulum berdiversifikasi, yaitu dengan
mengklasifikasi siswa yang berkemampuan normal, sedang atau tinggi. Siswa yang
berkemampuan normal dituntut sebatas memiliki kompetensi minimum, sedangkan siswa
yang memiliki kemampuan tinggi dituntut untuk mencapai kompetensi standar. Guru
diberikan kebebasan untuk menetapkan materi yang cocok untuk siswanya. Dengan
kebebasan tersebut, guru memiliki peluang yang cukup tinggi untuk mengembangkan
materi-materi yang memiliki karakteristik lokal.
Dapat disimpulkan dari ke delapan dukungan positif terhadap KBK di atas,
bahwa KBK bukan saja sebuah pendekatan dalam kebijakan (policy approach), tetapi
KBK dapat direalisasikan dalam pembelajaran di sekolah untuk mengembangkan
kompetensi standar
III. PENDIDIKAN BERBASIS KOMPETENSI
Dewasa ini, beberapa kalangan berpandangan bahwa pendidikan berbasis
kompetensi (selanjutnya: PBK) merupakan jawaban jitu terhadap permasalahan mutu
pendidikan. Sedangkan kalangan yang lain berpandangan bahwa PBK merupakan
jawaban yang keliru (Harris dkk.,1995). Awalnya, PBK menuai popularitas di Amerika
Serikat pada tahun tujuh-puluhan sebagai dasar untuk pendidikan vokasional bagi tenaga
kependidikan. PBK juga sangat berkembang di Inggris dan Wales pada awal tahun 1986.
Popularitas PBK cepat merambah Selandia Baru, Australia, dan Indonesia pada sekitar
paruh akhir dari tahun delapan-puluhan. Di satu sisi PBK menuai popularitas, namun di
sisi lain PBK tidak terlepas dari sasaran kritik yang amat pedas. Perdebatan sengit tentang
dampak PBK terjadi di Australia dan Inggris (Chappel, 1996; Ecclestone, 1997; Hyland,
1994).
Perihal kompetensi berkembang berbagai konsep, dan masing-masing konsep
dibangun sendiri-sendiri oleh pengguna konsep tersebut (Chappell,1996). Proponen PBK
berpandangan bahwa pendekatan kompetensi merupakan suatu cara terbaik untuk
meningkatkan kompetensi yang sejalan dengan persyaratan di situs kerja tertentu. PBK
sifatnya sangat individualis, menekankan pada outcomes (apa yang diketahui dan apa
yang dapat dilakukan), dan prosedurnya sangat fleksibel (Harris, dkk.,1995). Pendekatan
kompetensi memperjelas bagaimana outcomes dapat dicapai dengan mutu pencapaian
menurut standar nasional maupun internasional. Secara teoritis, PBK meniadakan
pembedaan antara ‘tangan dan pikiran’, teori dan praktek, umum dan spesifik dalam
pendidikan (Harris,dkk.,1995). Bagi yang tidak sejalan (opponents) dengan PBK, mereka
menyebutnya PBK sebagai sesuatu yang sangat reduksionistik, sempit, kaku, teoretis,
empiris, dan pedagogis yang sangat tidak memadai (Chappell, 1996; Hyland, 1994).
Tetapi, ke dua belah pihak tampaknya setuju bila kompetensi tersebut
dikonsepsikan ke dalam bentuk perilaku (cf.Anderson dan Krathwohl,2001). Menurut
kerangka pikir behaviorisme, kompetensi lebih mudah diurai menjadi perilaku dalam
bidang tugas yang sangat terpisah dan dianalisis secara fungsional menurut peran
tugasnya. Analisis demikian sangat tepat dijadikan dasar untuk merumuskan kompetensi
dan alat ukur yang akan digunakan untuk pencapaian sebuah kompetensi.
KBK merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan
hasil belajar yang harus dicapai pebelajar (learner), prosedur penilaian, kegiatan belajarmengajar,
dan pemberdayaan sumber daya pendidikan. KBK berorientasi pada
pencapaian hasil yang dirumuskan dalam bentuk kompetensi. KBK bertitik tolak dari
kompetensi yang harus dimiliki pebelajar. Penerapan KBK berorientasi pada
pembelajaran tuntas, dan kurikulumnya bersifat holistik dan menyeluruh. KBK sangat
menekankan diversifikasi, yakni lembaga pendidikan dapat mengembangkan, menyusun,
mengevaluasi silabus berdasarkan standar kompetensi yang telah ditetapkan secara
nasional (Depdiknas,2000f:1; Sidi, 2001:8). Ranah kompetensi yang terdapat dalam
KBK, antara lain: kompetensi akademik, kompetensi kehidupan, dan kompetensi karakter
nasional. Untuk mencapai kompetensi tersebut, maka pembelajaran ditekankan pada
bagaimana pebelajar belajar tentang belajar, bukan pada apa yang harus dipelajari oleh
pebelajar.
IV. KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI
Pengertian
Secara umum kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai
dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Sedangkan Kurkikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) merupakan perangkat rencana dan pengaturan tentang
kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai pebelajar, penilaian, kegiatan belajar
mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum
sekolah (Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas, 2002:3).
A. Kompetensi Utama
Mengacu pada kompetensi yang dikembangkan Anderson dan Krathwhol (2001:ii),
maka Kompetensi Utama dapat dikelompok menjadi 4 (empat) gugus, yaitu: 1) factual
knowledge, 2) conceptual knowledge, 3) procedural knowledge, dan 4) metacognitive
knowledge. Factual knowledge menyangkut pengetahuan tentang fitur-fitur dasar yang
harus diketahui oleh pebelajar dalam sebuah disiplin keilmuan dan dapat digunakan
dalam memecahkan masalah. Jenis kompetensi ini terdiri dari dua, yaitu: pengetahuan
tentang terminologi, dan 2) pengetahuan tentang detil spesifik (specific details) dan fiturfitur
dasar (basic elements). Conceptual knowledge meliputi kompetensi yang
menunjukkan pemahaman tata hubungan antar fitur dasar dalam suatu struktur yang lebih
luas dan yang memungkinkan berfungsinya fitur-fitur tersebut. Termasuk ke dalam
kompetensi ini adalah:1) pengetahuan tentang klasifikasi dan kategori, 2) pengetahuan
tentang prinsi-prinsip kerja dan generalisasinya, 3) pengetahuan tentang teori, model,
paradigma dan struktur dasar.
V. ASESMEN BERBASIS KOMPETENSI
Selama dekade terakhir, ada kecendrungan untuk mencari alternatif terhadap jenis
asesmen tradisional dalam bidang pendidikan. Setidaknya ada 3 faktor yang berkontribusi
terhadap perlunya mengadakan perubahan dalam bidang asesmen, yaitu 1) adanya
perubahan hakekat tujuan pendidikan, 2) hubungan antara asesmen dengan proses belajar
dan mengajar dan 3) keterbatasan metode asesmen ( Marzano, dkk, 1993 : 9-12)
Didengungkannya kurikulum berbasis kompetensi (KBK) belakangan ini
menunjukkan adanya perubahan terhadap fokus tujuan pendidikan untuk lebih memacu
kompetensi peserta didik untuk mampu berpikir kreatif, mengambil keputusan,
memecahkan masalah dan mampu mengatur diri sendiri (self management) sehingga bisa
mencapai life-long learning outcomes yaitu a self-directed learner, a collaborative
worker, a complex thinker, a quality producer dan community contributor. Dengan
adanya perubahan hakekat tujuan pendidikan tersebut, jenis asesmen standar yang
biasanya dipakai dalam bentuk tes objektif dianggap tidak cukup untuk tujuan pendidikan
seperti dipaparkan di atas. Kebanyakan tes standar menyuruh pebelajar untuk memilih
jawaban yang telah disediakan. Sangat jarang dikembangkan tes yang menuntut pebelajar
untuk mengaplikasikan suatu informasi, atau menyuruh pebelajar untuk menunjukkan
kemampuan melalui tingkat kognisi yang lebih tinggi. Keterbatasan inilah mendorong
perlunya untuk mencari alternatif baru dalam asesmen.
Faktor yang kedua yang berkontribusi terhadap perlunya alternatif dalam
Asesmen adalah hubungan antara asesmen dengan proses mengajar dan belajar. Teori
behavioristik dalam pengajaran mencirikan adanya akumulasi dari keterampilan yang
terpisah yang sering diwarnai dengan asesmen-asesmen yang dilakukan pada momen
tertentu saja yang sering diukur dengan jenis tes objektif. Pebelajar disuruh untuk
menyelesaikan tes pada waktu tertentu saja dan hasilnya sering dipakai untuk mengambil
keputusan penting apakah pebelajar boleh lulus satu mata kuliah atau tidak.
Proses belajar dan mengajar memiliki hubungan yang sangat erat, sehingga
apabila proses belajar terjadi secara holistik maka asesmen yang diberikan pun
semestinya dapat memberi informasi yang holistik kepada pembelajar. Jenis asesmen
yang diberikan hendaknya sesuai dengan apa yang telah diajarkan di kelas, tidak hanya
berdasarkan hasil paper-pencil test saja. Berdasarkan hal ini maka reformasi di bidang
asesmen perlu dilakukan.
Faktor ketiga adalah cara bagaimana data diambil dan dilaporkan. Para kritik
dibidang pendidikan menyatakan bahwa metode asesmen yang dilakukan selama ini tidak
memberikan masukan yang bermanfaat tentang penampilan pebelajar (learner). Jenis tes
tradisional seperti pilihan ganda tidak dapat memberikan informasi tentang kemajuan
pebelajar dalam hal apa yang telah dipelajari dan bagaimana pebelajar telah
mempelajarinya, dan tidak dapat mencerminkan aktivitas otentik yang terjadi selama
proses belajar mengajar di dalam kelas. Tes tradisional biasanya memberikan data
pebelajar dengan nilai tertentu misalnya C atau B yang hanya dilakukan berdasarkan satu
jenis tes saja. Apabila pembelajar (teacher) ingin meningkatkan pembelajaran, tidak
hanya mengukurnya, maka selayaknya mekanisme pencatatan dan pelaporan perlu
dicermati lagi.
Berdasarkan ke tiga faktor itulah kemudian, alternatif baru asesmen sangat perlu
dan mendesak untuk dilakukan sehingga diperkenalkanlah paradigma baru dalam
asesmen berbasis kompetensi yang dikenal dengan istilah asesmen otentik (authentic
assessment)
A. Definisi Asesmen Otentik
Istilah asesmen otentik atau asesmen berbasis kompetensi dipakai untuk
menjelaskan tentang bentuk asesmen yang beragam yang mencerminkan proses
pembelajaran pebelajar, kemampuan, motivasi dan sikap pebelajar terhadap aktivitas
pembelajaran yang relevan di kelas (O`Malley dan Pierce, 1996 : 4-5). Istilah authentic
assessment pertama kali dipopulerkan oleh Grant Wiggins (1989) yang mengandung ide
tentang asesmen terhadap pebelajar dalam mengaplikasikan pengetahuan dan
keterampilan dengan cara yang sama seperti yang mereka alami di dunia nyata di luar
kelas. Jenis asesmen otentik meliputi asesmen kinerja (performance assessment),
portofolio (portfolios) dan asesmen oleh pebelajar sendiri (student self-assessment).
Sesuai dengan permintaan Panitia Penyelenggara Semlok, maka pembahasan terhadap
asesmen otentik akan dibatasi hanya pada dua jenis asesmen yaitu: asesmen kinerja dan
asesmen oleh pebelajar sendiri.
1. Asesmen Kinerja (Performance Assessment)
Asesmen kinerja (Performance assessment) terdiri dari setiap bentuk asesmen
dimana pebelajar memberikan respon secara lisan maupun tertulis. Respon pebelajar
mungkin dielisitasi oleh pembelajar dalam konteks asesmen formal maupun informal atau
diobservasi selama proses pembelajaran di kelas maupun di luar kelas. Asesmen ini
memerlukan pebelajar untuk mampu melakukan tugas-tugas yang kompleks dan
signifikan untuk mengarahkan mereka mampu memecahkan masalah yang nyata dan
otentik di masyarakat. Contohnya adalah laporan lisan, sampel tulisan, projek individu
atau kelompok, pameran dan demontrasi.
Asesmen kinerja (Performance assessment) sering memerlukan penilaian
pembelajar terhadap respon pebelajar. Untuk membantu penilaian pembelajar lebih
akurat dan sahih, perlu dibuat skala penilaian (scoring scale) atau rubrik dimana skor
tertentu diasosiasikan dengan penampilan pebelajar. Kriteria untuk masing-masing
tingkat harus dideskripsikan dengan jelas tentang keterampilan dan aktivitas yang
semestinya dilakukan oleh pebelajar. Salah satu kriteria dari performance assessment
adalah kriteria penilaian diumumkan dan diperkenalkan lebih awal kepada pebelajar ,
sehingga pebelajar bisa menyiapkan diri dan menggunakan kriteria tersebut untuk menilai
dirinya sendiri.
2. Asesmen Diri (Self-Assessment)
Kunci kesuksesan penggunaan portofolio adalah adanya asesmen oleh diri
pebelajar sendiri. Asesmen yang efektif melibatkan pebelajar untuk diberikan kesempatan
untuk menilai diri mereka sendiri, melihat kemungkinan untuk refleksi diri. Pebelajar
perlu dukungan untuk memahami pentingnya asesmen oleh diri sendiri , menjadi
evaluator independen terhadap kemajuan mereka sendiri sesuai dengan tujuan
instruksional yang telah ditetapkan. Pembelajar harus belajar bagaimana mendukung
pebelajar dalam mengevaluasi diri mereka sendiri, tetapi perlu diingat bahwa asesmen
diri (self-assessment) adalah proses melalui mana pebelajar harus diarahkan. Asesmen
diri bukan tentang format atau checklist. Mengajar pebelajar untuk mengevalusi diri
sendiri dimulai dengan adanya kesadaran bahwa pebelajar mempelajari hal yang baru.
Oleh sebab itu mereka memerlukan kesempatan yang cukup untuk belajar dan
mengaplikasikan berbagai keterampilan dengan masukan yang diberikan oleh
pembelajar.
Agar pebelajar mampu mengukur diri mereka sendiri, mereka perlu melihat
contoh pekerjaan yang bagus dan memahami standar yang dipakai untuk menilai. Ini
berarti bahwa pembelajar harus bekerja bersama-sama pebelajar untuk menentukan
kriteria pekerjaan yang akan dinilai. Dengan melihat contoh pekerjaan yang dianggap
bagus, mereka bisa mengembangkan ide bagaimana suatu pekerjaan dievaluasi. Dalam
mengerjakan hal ini, pembelajar harus menyimpan semua pekerjaan pebelajar dari awal
sampai akhir.
Dari contoh pekerjaan yang bagus, pebelajar disuruh untuk mengidentifikasi
karakteristik model pekerjaan yang bisa dipakai contoh. Dengan mengidentifikasi hal ini,
pebelajar akan diarahkan untuk mampu membuat carta kriteria (criteria charts) yang
berisi tentang kriteria penting yang dijabarkan pebelajar dan sewaktu-waktu bisa
ditambahkan lagi. Carta ini bisa digantung di tembok dan bisa dilihat sewaktu-waktu
pada saat pekerjaan yang sama dikerjakan. Apabila pebelajar sudah memahami carta
yang mereka buat, mereka tidak perlu lagi merujuk pada carta yang tergantung ditembok.
Setelah pebelajar mampu membuat kriteria, maka mereka disuruh untuk
mengaplikasikan pada evaluasi terhadap pekerjaan mereka. Hal ini bisa dimulai dalam
kelompok kecil atau bekerja dengan seorang teman (a porfolio partner) Setelah itu
secara perlahan mereka diarahkan untuk mampu melakukan secara mandiri terhadap diri
mereka sendiri. Selama proses evaluasi pebelajar dibimbing untuk mampu menemukan
kelemahan dan kebaikan dari masing-masing sampel pekerjaan mereka dengan
demikian mereka bisa menentukan tujuan peningkatan pekerjaan mereka sendiri.
VI. PEMBELAJARAN
Sebelum membahas secara khusus metode pembelajaran berbasis kompetensi,
maka perlu diketahui adanya perbedaan istilah dalam pembelajaran. Ketiga istilah
tersebut, yaitu: pendekatan (approach), metode (methods), dan teknik (techniques).
Menurut Anthony (1985) bahwa pendekatan (approach) adalah seperangkat asusmsi
dasar tentang suatu entitas yang bersifat sebagai sebuah aksioma (a set of related
assumptions about a particular entity, and therefore; it is axiomatic in nature).
Pendekatan pembelajaran berkembang dari yang bersifat tradisional-konvensional
sampai ke pendekatan konstruktivistik.
Metode merupakan langkah-langkah pokok yang ditempuh untuk bisa mencapai
tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya (a general procedure to achieve the predetermined
goals). Sifat metode adalah prosedural yang harus konsisten dengan
pendekatan yang telah ditentukan sebelumnya. Sedangkan teknik merupakan cara khusus
(special tricksto implement the chosen approach and methodsin order to achieve the predetermined
goals as efficiently and effectively as possible) untuk mengimplementasikan
pendekatan dan metode, sehingga tujuan tercapai dengan optimal.
Dengan pemahaman makna pendekatan-metode-dan-teknik tersebut, maka yang
penting diperhatikan adalah bagaimana sebaiknya pengalaman belajar (learning
experiences) dapat disajikan kepada mahasiswa, sehingga kompetensi standar (standard
competency) dan kompetensi dasar (basic competency) dapat dicapai secara maksimal.
Untuk mencapai suatu kompetensi tidak ada hanya satu pendekatan, metode, atau teknik
yang merupakan obat mujarab (penacea). Umumnya, pendekatan, metode, dan teknik
pembelajaran bersifat eklektik (ecclecticism).
Ada rumus pembelajaran yang bersifat generik, yaitu: pembelajaran harus
mencirikan suatu model:P-A-I-K-E-M. PAIKEM merupakan model pembelajaran aktif,
inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Pada intinya pembelajaran harus mendorong
mahasiswa agar terlibat secara aktif dalam pembelajaran. Keterlibatannya dalam
pembelajaran haruslah bersifat mental. Seluruh komponen mental mahasiswa harus
dicurahkan dalam pembelajaran.
Inovasi dalam pembelajaran merupakan upaya-upaya yang segar dan baru yang
mendorong terciptanya suasana kondusif dan kreatif dalam pembelajaran. Dengan
kondusivitas atmosfir pembelajaran, maka pembelajaran yang mendidik dapat
terselenggara secara efisien dan efektif. Pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif
akan menjadikan pembelajaran itu sendiri sebagai suatu upaya mendidik yang
menyenangkan bagi mahasiswa dan dosen. Dengan model PAIKEM tersebut, maka
kompetensi-kompetensi utama, penunjang, dan lainnya yang gayut dengan kompetensi
utama akan dapat tercapai dengan semaksimal mungkin.
VII. PENUTUP
Kompetensi merupakan sebuah konsep yang masih diperdebatkan kebenarannya.
Secara teoritis, KBK memiliki kelemahan dan kendala seperti yang diajukan oleh para
penentang (oponent) KBK di atas. Secara teoretik, KBK mengandung kelemahan
konseptual, antara lain: memandang sebuah kompetensi sebagai sebuah entitas yang
bersifat tunggal, padahal kompetensi merupakan “…a complex combination of
knowledge, attitudes, skills, and values displayed in the context of task performance.”
(Gonczi,1997), sistem pengukuran perilaku yang menggunakan paradigma behaviorisme
ditengarai tidak mampu mengukur sesuatu perilaku yang dihasilkan dari pembelajaran
bermakna (significant learning) (Barrie dan Pace,1997), dan kendala yang dihadapi
dalam mengimplementasikan KBK adalah waktu, biaya dan tenaga yang banyak.
Terlepas dari kelemahan (internal) dan kendala (eksternal) tersebut, KBK merupakan
sebuah pendekatan dalam pengambilan kebijakan dalam pendidikan. Maka dari itu,
prinsip dasar yang harus digunakan untuk menjadikan KBK sebuah realita dalam
pendidikan nasional kita, bukan sebuah mitos, adalah dengan mengubah kelemahan
(weaknesses) dan kendala (threats) menjadi sebuah kekuatan (strengths) dan peluang
(opportunities).
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Made Kerta. 2003. Studi evaluatif tentang kesiapan guru IPS dalam
mengimplementasikan KBK, SMUN se-kota Denpasar tahun pelajaran 2002-
2003. Singaraja: Disertasi Program Pascasarjana Jurusan PEP IKIP Negeri
Singaraja (tidak dipublikasikan).
Barrie,J., dan Pace,R.W. 1997. Competence, efficiency, and organizational learning.
Human Resource Development Quartely 8, No.4 (Winter 1997) :335-342.
Chappell, C. 1996. Quality & competency-based education and training. In The
Literacy Equation,71-79. Red Hill, Australia: Queensland Council for Adult
Literacy.
Collins,C. ed. 1993. Competencies:The competencies debate in Australian education
and training. Curtin: Australian College of Education.
Depdiknas. 2001. Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Buku 1 Konsep
dan pelaksanaan. Jakarta : Depdiknas.
Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi Kebijaksanaan Umum
Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta : Depdiknas.
Depdiknas. 2002. Kebijaksanaan teknis dan program pengembangan pendidikan
Menengah Umum di masa depan. Jakarta : Depdiknas.
Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta : Depdiknas.
Ecclestone,K. 1997. Energizing or enervating?. Journal of Vocational education and
Training, 19,No.1:65-79.
Erride,A., dan Perry,S. 1994. The validity and value of national vocational
qualifications. British Journal of Education and Work 7, No.2.
Gonczi,A. 1997. Future directions for vocational education in Australian Secondary
Schools. Australian and New Zealand Journal of Vocational Education
Research 5, No.1 (May ):77-108.
Harris,R., dan Guthrie,H.,Hobart,B., dan Lumberg,D. 1995.Competency-based
education and training:between a rock and whirlpool. South Melbourne:
MacMillan Education Australia.
Hodkinson,P., dan Issitt,M. (Eds.) 1995. The challenge of competence. New York:
Casell.
Hyland,T. 1994. Competence, education and NVQs: Dissenting perspectives.
London: Cassell.
Hyland,T. 1997. National Vocational Qualifications, skills training and employers’
needs. Journal of Vocational Education for the Workplace,135-149. Geelong:
Australia Deakin University.
Jackson,N. 1994. If competence is the answer, what is the question? In A Collection
of Original Essays on Curriculum for the Workplace,135-149. Geelong: Australia
Deakin University.
Jones,L., dan Moore,R. 1995. Appropriating competence. British Jounral of
Education and Work 8,No.2:78-92.
Sidi, Indra Djati. 2001. Strategi Pendidikan Nasional. Makalah. Malang:IKIP Malang.
Dewasa ini, beberapa kalangan berpandangan bahwa pendidikan berbasis
kompetensi (selanjutnya: PBK) merupakan jawaban jitu terhadap permasalahan mutu
pendidikan. Sedangkan kalangan yang lain berpandangan bahwa PBK merupakan
jawaban yang keliru (Harris dkk.,1995). Awalnya, PBK menuai popularitas di Amerika
Serikat pada tahun tujuh-puluhan sebagai dasar untuk pendidikan vokasional bagi tenaga
kependidikan. PBK juga sangat berkembang di Inggris dan Wales pada awal tahun 1986.
Popularitas PBK cepat merambah Selandia Baru, Australia, dan Indonesia pada sekitar
paruh akhir dari tahun delapan-puluhan. Di satu sisi PBK menuai popularitas, namun di
sisi lain PBK tidak terlepas dari sasaran kritik yang amat pedas. Perdebatan sengit tentang
dampak PBK terjadi di Australia dan Inggris (Chappel, 1996; Ecclestone, 1997; Hyland,
1994).
Perihal kompetensi berkembang berbagai konsep, dan masing-masing konsep
dibangun sendiri-sendiri oleh pengguna konsep tersebut (Chappell,1996). Proponen PBK
berpandangan bahwa pendekatan kompetensi merupakan suatu cara terbaik untuk
meningkatkan kompetensi yang sejalan dengan persyaratan di situs kerja tertentu. PBK
sifatnya sangat individualis, menekankan pada outcomes (apa yang diketahui dan apa
yang dapat dilakukan), dan prosedurnya sangat fleksibel (Harris, dkk.,1995). Pendekatan
kompetensi memperjelas bagaimana outcomes dapat dicapai dengan mutu pencapaian
menurut standar nasional maupun internasional. Secara teoritis, PBK meniadakan
pembedaan antara ‘tangan dan pikiran’, teori dan praktek, umum dan spesifik dalam
pendidikan (Harris,dkk.,1995). Bagi yang tidak sejalan (opponents) dengan PBK, mereka
menyebutnya PBK sebagai sesuatu yang sangat reduksionistik, sempit, kaku, teoretis,
empiris, dan pedagogis yang sangat tidak memadai (Chappell, 1996; Hyland, 1994).
Tetapi, ke dua belah pihak tampaknya setuju bila kompetensi tersebut
dikonsepsikan ke dalam bentuk perilaku (cf.Anderson dan Krathwohl,2001). Menurut
kerangka pikir behaviorisme, kompetensi lebih mudah diurai menjadi perilaku dalam
bidang tugas yang sangat terpisah dan dianalisis secara fungsional menurut peran
tugasnya. Analisis demikian sangat tepat dijadikan dasar untuk merumuskan kompetensi
dan alat ukur yang akan digunakan untuk pencapaian sebuah kompetensi.
KBK merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan
hasil belajar yang harus dicapai pebelajar (learner), prosedur penilaian, kegiatan belajarmengajar,
dan pemberdayaan sumber daya pendidikan. KBK berorientasi pada
pencapaian hasil yang dirumuskan dalam bentuk kompetensi. KBK bertitik tolak dari
kompetensi yang harus dimiliki pebelajar. Penerapan KBK berorientasi pada
pembelajaran tuntas, dan kurikulumnya bersifat holistik dan menyeluruh. KBK sangat
menekankan diversifikasi, yakni lembaga pendidikan dapat mengembangkan, menyusun,
mengevaluasi silabus berdasarkan standar kompetensi yang telah ditetapkan secara
nasional (Depdiknas,2000f:1; Sidi, 2001:8). Ranah kompetensi yang terdapat dalam
KBK, antara lain: kompetensi akademik, kompetensi kehidupan, dan kompetensi karakter
nasional. Untuk mencapai kompetensi tersebut, maka pembelajaran ditekankan pada
bagaimana pebelajar belajar tentang belajar, bukan pada apa yang harus dipelajari oleh
pebelajar.
IV. KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI
Pengertian
Secara umum kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai
dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Sedangkan Kurkikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) merupakan perangkat rencana dan pengaturan tentang
kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai pebelajar, penilaian, kegiatan belajar
mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum
sekolah (Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas, 2002:3).
A. Kompetensi Utama
Mengacu pada kompetensi yang dikembangkan Anderson dan Krathwhol (2001:ii),
maka Kompetensi Utama dapat dikelompok menjadi 4 (empat) gugus, yaitu: 1) factual
knowledge, 2) conceptual knowledge, 3) procedural knowledge, dan 4) metacognitive
knowledge. Factual knowledge menyangkut pengetahuan tentang fitur-fitur dasar yang
harus diketahui oleh pebelajar dalam sebuah disiplin keilmuan dan dapat digunakan
dalam memecahkan masalah. Jenis kompetensi ini terdiri dari dua, yaitu: pengetahuan
tentang terminologi, dan 2) pengetahuan tentang detil spesifik (specific details) dan fiturfitur
dasar (basic elements). Conceptual knowledge meliputi kompetensi yang
menunjukkan pemahaman tata hubungan antar fitur dasar dalam suatu struktur yang lebih
luas dan yang memungkinkan berfungsinya fitur-fitur tersebut. Termasuk ke dalam
kompetensi ini adalah:1) pengetahuan tentang klasifikasi dan kategori, 2) pengetahuan
tentang prinsi-prinsip kerja dan generalisasinya, 3) pengetahuan tentang teori, model,
paradigma dan struktur dasar.
V. ASESMEN BERBASIS KOMPETENSI
Selama dekade terakhir, ada kecendrungan untuk mencari alternatif terhadap jenis
asesmen tradisional dalam bidang pendidikan. Setidaknya ada 3 faktor yang berkontribusi
terhadap perlunya mengadakan perubahan dalam bidang asesmen, yaitu 1) adanya
perubahan hakekat tujuan pendidikan, 2) hubungan antara asesmen dengan proses belajar
dan mengajar dan 3) keterbatasan metode asesmen ( Marzano, dkk, 1993 : 9-12)
Didengungkannya kurikulum berbasis kompetensi (KBK) belakangan ini
menunjukkan adanya perubahan terhadap fokus tujuan pendidikan untuk lebih memacu
kompetensi peserta didik untuk mampu berpikir kreatif, mengambil keputusan,
memecahkan masalah dan mampu mengatur diri sendiri (self management) sehingga bisa
mencapai life-long learning outcomes yaitu a self-directed learner, a collaborative
worker, a complex thinker, a quality producer dan community contributor. Dengan
adanya perubahan hakekat tujuan pendidikan tersebut, jenis asesmen standar yang
biasanya dipakai dalam bentuk tes objektif dianggap tidak cukup untuk tujuan pendidikan
seperti dipaparkan di atas. Kebanyakan tes standar menyuruh pebelajar untuk memilih
jawaban yang telah disediakan. Sangat jarang dikembangkan tes yang menuntut pebelajar
untuk mengaplikasikan suatu informasi, atau menyuruh pebelajar untuk menunjukkan
kemampuan melalui tingkat kognisi yang lebih tinggi. Keterbatasan inilah mendorong
perlunya untuk mencari alternatif baru dalam asesmen.
Faktor yang kedua yang berkontribusi terhadap perlunya alternatif dalam
Asesmen adalah hubungan antara asesmen dengan proses mengajar dan belajar. Teori
behavioristik dalam pengajaran mencirikan adanya akumulasi dari keterampilan yang
terpisah yang sering diwarnai dengan asesmen-asesmen yang dilakukan pada momen
tertentu saja yang sering diukur dengan jenis tes objektif. Pebelajar disuruh untuk
menyelesaikan tes pada waktu tertentu saja dan hasilnya sering dipakai untuk mengambil
keputusan penting apakah pebelajar boleh lulus satu mata kuliah atau tidak.
Proses belajar dan mengajar memiliki hubungan yang sangat erat, sehingga
apabila proses belajar terjadi secara holistik maka asesmen yang diberikan pun
semestinya dapat memberi informasi yang holistik kepada pembelajar. Jenis asesmen
yang diberikan hendaknya sesuai dengan apa yang telah diajarkan di kelas, tidak hanya
berdasarkan hasil paper-pencil test saja. Berdasarkan hal ini maka reformasi di bidang
asesmen perlu dilakukan.
Faktor ketiga adalah cara bagaimana data diambil dan dilaporkan. Para kritik
dibidang pendidikan menyatakan bahwa metode asesmen yang dilakukan selama ini tidak
memberikan masukan yang bermanfaat tentang penampilan pebelajar (learner). Jenis tes
tradisional seperti pilihan ganda tidak dapat memberikan informasi tentang kemajuan
pebelajar dalam hal apa yang telah dipelajari dan bagaimana pebelajar telah
mempelajarinya, dan tidak dapat mencerminkan aktivitas otentik yang terjadi selama
proses belajar mengajar di dalam kelas. Tes tradisional biasanya memberikan data
pebelajar dengan nilai tertentu misalnya C atau B yang hanya dilakukan berdasarkan satu
jenis tes saja. Apabila pembelajar (teacher) ingin meningkatkan pembelajaran, tidak
hanya mengukurnya, maka selayaknya mekanisme pencatatan dan pelaporan perlu
dicermati lagi.
Berdasarkan ke tiga faktor itulah kemudian, alternatif baru asesmen sangat perlu
dan mendesak untuk dilakukan sehingga diperkenalkanlah paradigma baru dalam
asesmen berbasis kompetensi yang dikenal dengan istilah asesmen otentik (authentic
assessment)
A. Definisi Asesmen Otentik
Istilah asesmen otentik atau asesmen berbasis kompetensi dipakai untuk
menjelaskan tentang bentuk asesmen yang beragam yang mencerminkan proses
pembelajaran pebelajar, kemampuan, motivasi dan sikap pebelajar terhadap aktivitas
pembelajaran yang relevan di kelas (O`Malley dan Pierce, 1996 : 4-5). Istilah authentic
assessment pertama kali dipopulerkan oleh Grant Wiggins (1989) yang mengandung ide
tentang asesmen terhadap pebelajar dalam mengaplikasikan pengetahuan dan
keterampilan dengan cara yang sama seperti yang mereka alami di dunia nyata di luar
kelas. Jenis asesmen otentik meliputi asesmen kinerja (performance assessment),
portofolio (portfolios) dan asesmen oleh pebelajar sendiri (student self-assessment).
Sesuai dengan permintaan Panitia Penyelenggara Semlok, maka pembahasan terhadap
asesmen otentik akan dibatasi hanya pada dua jenis asesmen yaitu: asesmen kinerja dan
asesmen oleh pebelajar sendiri.
1. Asesmen Kinerja (Performance Assessment)
Asesmen kinerja (Performance assessment) terdiri dari setiap bentuk asesmen
dimana pebelajar memberikan respon secara lisan maupun tertulis. Respon pebelajar
mungkin dielisitasi oleh pembelajar dalam konteks asesmen formal maupun informal atau
diobservasi selama proses pembelajaran di kelas maupun di luar kelas. Asesmen ini
memerlukan pebelajar untuk mampu melakukan tugas-tugas yang kompleks dan
signifikan untuk mengarahkan mereka mampu memecahkan masalah yang nyata dan
otentik di masyarakat. Contohnya adalah laporan lisan, sampel tulisan, projek individu
atau kelompok, pameran dan demontrasi.
Asesmen kinerja (Performance assessment) sering memerlukan penilaian
pembelajar terhadap respon pebelajar. Untuk membantu penilaian pembelajar lebih
akurat dan sahih, perlu dibuat skala penilaian (scoring scale) atau rubrik dimana skor
tertentu diasosiasikan dengan penampilan pebelajar. Kriteria untuk masing-masing
tingkat harus dideskripsikan dengan jelas tentang keterampilan dan aktivitas yang
semestinya dilakukan oleh pebelajar. Salah satu kriteria dari performance assessment
adalah kriteria penilaian diumumkan dan diperkenalkan lebih awal kepada pebelajar ,
sehingga pebelajar bisa menyiapkan diri dan menggunakan kriteria tersebut untuk menilai
dirinya sendiri.
2. Asesmen Diri (Self-Assessment)
Kunci kesuksesan penggunaan portofolio adalah adanya asesmen oleh diri
pebelajar sendiri. Asesmen yang efektif melibatkan pebelajar untuk diberikan kesempatan
untuk menilai diri mereka sendiri, melihat kemungkinan untuk refleksi diri. Pebelajar
perlu dukungan untuk memahami pentingnya asesmen oleh diri sendiri , menjadi
evaluator independen terhadap kemajuan mereka sendiri sesuai dengan tujuan
instruksional yang telah ditetapkan. Pembelajar harus belajar bagaimana mendukung
pebelajar dalam mengevaluasi diri mereka sendiri, tetapi perlu diingat bahwa asesmen
diri (self-assessment) adalah proses melalui mana pebelajar harus diarahkan. Asesmen
diri bukan tentang format atau checklist. Mengajar pebelajar untuk mengevalusi diri
sendiri dimulai dengan adanya kesadaran bahwa pebelajar mempelajari hal yang baru.
Oleh sebab itu mereka memerlukan kesempatan yang cukup untuk belajar dan
mengaplikasikan berbagai keterampilan dengan masukan yang diberikan oleh
pembelajar.
Agar pebelajar mampu mengukur diri mereka sendiri, mereka perlu melihat
contoh pekerjaan yang bagus dan memahami standar yang dipakai untuk menilai. Ini
berarti bahwa pembelajar harus bekerja bersama-sama pebelajar untuk menentukan
kriteria pekerjaan yang akan dinilai. Dengan melihat contoh pekerjaan yang dianggap
bagus, mereka bisa mengembangkan ide bagaimana suatu pekerjaan dievaluasi. Dalam
mengerjakan hal ini, pembelajar harus menyimpan semua pekerjaan pebelajar dari awal
sampai akhir.
Dari contoh pekerjaan yang bagus, pebelajar disuruh untuk mengidentifikasi
karakteristik model pekerjaan yang bisa dipakai contoh. Dengan mengidentifikasi hal ini,
pebelajar akan diarahkan untuk mampu membuat carta kriteria (criteria charts) yang
berisi tentang kriteria penting yang dijabarkan pebelajar dan sewaktu-waktu bisa
ditambahkan lagi. Carta ini bisa digantung di tembok dan bisa dilihat sewaktu-waktu
pada saat pekerjaan yang sama dikerjakan. Apabila pebelajar sudah memahami carta
yang mereka buat, mereka tidak perlu lagi merujuk pada carta yang tergantung ditembok.
Setelah pebelajar mampu membuat kriteria, maka mereka disuruh untuk
mengaplikasikan pada evaluasi terhadap pekerjaan mereka. Hal ini bisa dimulai dalam
kelompok kecil atau bekerja dengan seorang teman (a porfolio partner) Setelah itu
secara perlahan mereka diarahkan untuk mampu melakukan secara mandiri terhadap diri
mereka sendiri. Selama proses evaluasi pebelajar dibimbing untuk mampu menemukan
kelemahan dan kebaikan dari masing-masing sampel pekerjaan mereka dengan
demikian mereka bisa menentukan tujuan peningkatan pekerjaan mereka sendiri.
VI. PEMBELAJARAN
Sebelum membahas secara khusus metode pembelajaran berbasis kompetensi,
maka perlu diketahui adanya perbedaan istilah dalam pembelajaran. Ketiga istilah
tersebut, yaitu: pendekatan (approach), metode (methods), dan teknik (techniques).
Menurut Anthony (1985) bahwa pendekatan (approach) adalah seperangkat asusmsi
dasar tentang suatu entitas yang bersifat sebagai sebuah aksioma (a set of related
assumptions about a particular entity, and therefore; it is axiomatic in nature).
Pendekatan pembelajaran berkembang dari yang bersifat tradisional-konvensional
sampai ke pendekatan konstruktivistik.
Metode merupakan langkah-langkah pokok yang ditempuh untuk bisa mencapai
tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya (a general procedure to achieve the predetermined
goals). Sifat metode adalah prosedural yang harus konsisten dengan
pendekatan yang telah ditentukan sebelumnya. Sedangkan teknik merupakan cara khusus
(special tricksto implement the chosen approach and methodsin order to achieve the predetermined
goals as efficiently and effectively as possible) untuk mengimplementasikan
pendekatan dan metode, sehingga tujuan tercapai dengan optimal.
Dengan pemahaman makna pendekatan-metode-dan-teknik tersebut, maka yang
penting diperhatikan adalah bagaimana sebaiknya pengalaman belajar (learning
experiences) dapat disajikan kepada mahasiswa, sehingga kompetensi standar (standard
competency) dan kompetensi dasar (basic competency) dapat dicapai secara maksimal.
Untuk mencapai suatu kompetensi tidak ada hanya satu pendekatan, metode, atau teknik
yang merupakan obat mujarab (penacea). Umumnya, pendekatan, metode, dan teknik
pembelajaran bersifat eklektik (ecclecticism).
Ada rumus pembelajaran yang bersifat generik, yaitu: pembelajaran harus
mencirikan suatu model:P-A-I-K-E-M. PAIKEM merupakan model pembelajaran aktif,
inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Pada intinya pembelajaran harus mendorong
mahasiswa agar terlibat secara aktif dalam pembelajaran. Keterlibatannya dalam
pembelajaran haruslah bersifat mental. Seluruh komponen mental mahasiswa harus
dicurahkan dalam pembelajaran.
Inovasi dalam pembelajaran merupakan upaya-upaya yang segar dan baru yang
mendorong terciptanya suasana kondusif dan kreatif dalam pembelajaran. Dengan
kondusivitas atmosfir pembelajaran, maka pembelajaran yang mendidik dapat
terselenggara secara efisien dan efektif. Pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif
akan menjadikan pembelajaran itu sendiri sebagai suatu upaya mendidik yang
menyenangkan bagi mahasiswa dan dosen. Dengan model PAIKEM tersebut, maka
kompetensi-kompetensi utama, penunjang, dan lainnya yang gayut dengan kompetensi
utama akan dapat tercapai dengan semaksimal mungkin.
VII. PENUTUP
Kompetensi merupakan sebuah konsep yang masih diperdebatkan kebenarannya.
Secara teoritis, KBK memiliki kelemahan dan kendala seperti yang diajukan oleh para
penentang (oponent) KBK di atas. Secara teoretik, KBK mengandung kelemahan
konseptual, antara lain: memandang sebuah kompetensi sebagai sebuah entitas yang
bersifat tunggal, padahal kompetensi merupakan “…a complex combination of
knowledge, attitudes, skills, and values displayed in the context of task performance.”
(Gonczi,1997), sistem pengukuran perilaku yang menggunakan paradigma behaviorisme
ditengarai tidak mampu mengukur sesuatu perilaku yang dihasilkan dari pembelajaran
bermakna (significant learning) (Barrie dan Pace,1997), dan kendala yang dihadapi
dalam mengimplementasikan KBK adalah waktu, biaya dan tenaga yang banyak.
Terlepas dari kelemahan (internal) dan kendala (eksternal) tersebut, KBK merupakan
sebuah pendekatan dalam pengambilan kebijakan dalam pendidikan. Maka dari itu,
prinsip dasar yang harus digunakan untuk menjadikan KBK sebuah realita dalam
pendidikan nasional kita, bukan sebuah mitos, adalah dengan mengubah kelemahan
(weaknesses) dan kendala (threats) menjadi sebuah kekuatan (strengths) dan peluang
(opportunities).
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Made Kerta. 2003. Studi evaluatif tentang kesiapan guru IPS dalam
mengimplementasikan KBK, SMUN se-kota Denpasar tahun pelajaran 2002-
2003. Singaraja: Disertasi Program Pascasarjana Jurusan PEP IKIP Negeri
Singaraja (tidak dipublikasikan).
Barrie,J., dan Pace,R.W. 1997. Competence, efficiency, and organizational learning.
Human Resource Development Quartely 8, No.4 (Winter 1997) :335-342.
Chappell, C. 1996. Quality & competency-based education and training. In The
Literacy Equation,71-79. Red Hill, Australia: Queensland Council for Adult
Literacy.
Collins,C. ed. 1993. Competencies:The competencies debate in Australian education
and training. Curtin: Australian College of Education.
Depdiknas. 2001. Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Buku 1 Konsep
dan pelaksanaan. Jakarta : Depdiknas.
Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi Kebijaksanaan Umum
Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta : Depdiknas.
Depdiknas. 2002. Kebijaksanaan teknis dan program pengembangan pendidikan
Menengah Umum di masa depan. Jakarta : Depdiknas.
Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta : Depdiknas.
Ecclestone,K. 1997. Energizing or enervating?. Journal of Vocational education and
Training, 19,No.1:65-79.
Erride,A., dan Perry,S. 1994. The validity and value of national vocational
qualifications. British Journal of Education and Work 7, No.2.
Gonczi,A. 1997. Future directions for vocational education in Australian Secondary
Schools. Australian and New Zealand Journal of Vocational Education
Research 5, No.1 (May ):77-108.
Harris,R., dan Guthrie,H.,Hobart,B., dan Lumberg,D. 1995.Competency-based
education and training:between a rock and whirlpool. South Melbourne:
MacMillan Education Australia.
Hodkinson,P., dan Issitt,M. (Eds.) 1995. The challenge of competence. New York:
Casell.
Hyland,T. 1994. Competence, education and NVQs: Dissenting perspectives.
London: Cassell.
Hyland,T. 1997. National Vocational Qualifications, skills training and employers’
needs. Journal of Vocational Education for the Workplace,135-149. Geelong:
Australia Deakin University.
Jackson,N. 1994. If competence is the answer, what is the question? In A Collection
of Original Essays on Curriculum for the Workplace,135-149. Geelong: Australia
Deakin University.
Jones,L., dan Moore,R. 1995. Appropriating competence. British Jounral of
Education and Work 8,No.2:78-92.
Sidi, Indra Djati. 2001. Strategi Pendidikan Nasional. Makalah. Malang:IKIP Malang.
0 komentar:
Posting Komentar