1. LATAR BELAKANG
Peristiwa tuturan komunikasi terjadi dengan melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan mitra tutur. Dalam peristiwa tersebut, kedua pihak menggunakan kata sapaan satu sama lain. Pemakaian kata sapaan dalam suatu bahasa tida terlepas dari fungsi dan konteks kata sapaan tersebut. Salah satu contoh penggunaan kata sapaan adalah kata “mas” yang berasal dari kata “Raden Mas” yang pada mulanya dipakai untuk menyebut anggota masyarakat dari golongan tertentu. Dulu pemakaiannyapun harus sangat hati-hati karena kalau dipakai untuk menyebut seseorang dari kelas sosial yang lebih tinggi, misalnya yang bergelar “Gusti Pangeran” tentu itu dianggap penghinaan. Tetapi, apabila dipakai untuk menyebut orang biasa yang tidak bergelar tidak serta merta dianggap penghormatan, itu bisa jadi dianggap sebagai ejekan.
Pada perkembangannya kata mas pada umumnya dipakai untuk menyapa laki-laki dan untuk menunjukkan rasa hormat atau kesopanan. Tetapi inipun sangat tergantung konteks pemakaian. Salah satu kasus menarik tentang penggunaan kata sapaan yang tidak memperhatikan konteks adalah penggunaan kata sapaan daeng yang merupakan kata sapaan dari bahasa Bugis dan berarti bapak. Kata daeng digunakan untuk menyapa seseorang dengan kelas sosial yang tinggi di Sulawesi dan merupakan suatu penghormatan. Namun, ketika kata daeng digunakan pada konteks yang tidak tepat maka kata ini dianggap sebagai penghinaan. Misalnya, dapat dilihat pada saat rapat anggota DPR yang sedang membahas kasus bank Century, waktu itu Ruhut memanggil Jusuf Kalla dengan sebutan daeng, dengan serta merta diprotes oleh anggota DPR lain. Sebutan sapaan daeng digunakan pada konteks sosial tertentu yang berkaitan dengan masyarakat dan budaya pemakai kata sapaan tersebut. Oleh karena itu, dalam menggunakan kata sapaan diperlukan kemampuan untuk memahami konteks sosial dan kaitannya dengan kelas sosial yang mendasari kata sapaan tersebut.
Dari uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa kata sapaan memiliki peranan penting dalam masyarakat untuk mengekspresikan rasa kesopanan dan penghormatan terhadap kelas sosial dalam masyarakat tertentu. Pada makalah ini dibahas penggunaan kata sapaan yang digunakan dalam masyarakat Minangkabau. Masyarakat Minangkabau merupakan sampai sekarang masih memegang teguh tradisi adat istiadat dan agama yang kuat terbukti dengan masih adanya jabatan ketua adat dan sistem matrilineal. Sistem adat dan tradisi memberikan pengaruh kepada sistem sapaan yang digunakan dalam masyarakat Minangkabau. Pembahasan ini dibatasi pada tiga jenis kata sapaan bersifat umum dalam arti paling banyak digunakan dalam percakapan sehari-hari, yaitu kata sapaan sebagai kata ganti diri, kata sapaan dalam kekerabatan, dan kata sapaan sebagai penunjuk gelar kebangsawanan.
2. MASALAH
Masalah dalam penelitian ini sebagai berikut.
1. Apa saja sistem sapaan bahasa Miangkabau?
2. Variabel apa saja yang dapat mempengaruhi pemakaian kata sapaan dalam
bahasa Minangkabau?
3. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk
1. mendeskripsikan sistem sapaan bahasa Minangkabau dan
2. menemukan variabel yang mempengaruhi pemakaian sistem sapaan dalam bahasa
Minangkabau.
4. METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Data yang dikumpulkan terdiri dari tiga kelompok, yaitu sistem sapaan kata ganti diri, kekerabatan, dan adat serta keagamaan.
Proses pengumpulan data diperoleh melalui penelusuran pustaka dan penelitian lapangan. Data lapangan didapat dengan wawancara tertutup, yaitu memberikan pertanyaan seputar kosakata sapaan dalam bahasa Indonesia dan kemudian dijawab resonden. Selain itu, pertanyaan diperluas dengan menanyakan dalam konteks sosial seperti apa kata sapaan tersebut digunakan, misalnya dalam konteks formal kosakata sapaan kata ganti diri apa digunakan untuk kata ganti diri saya dan dalam konteks informal kosakata kata ganti diri saya apa yang digunakan serta alasannya pemilihan kosakata itu apa.
5. KAJIAN PUSTAKA
Kajian pustaka dibagi menjadi dua bagian, yaitu gambaran umum kebahasaan , pranata sosial, dan penelitian kata sapaan bahasa Minangkabau. Gambaran umum kebahasaan merupakan tinjauan bagaimana kedudukan dan status bahasa Jawa, Bugis, dan Minang. Pranata sosial merupakan bagian penting untuk memberikan gambaran bagaimana sistem sosial kemasyarakatan yang menyebabkan penggunaan kata sapaan dalam masyarakat Minangkabau.
5.1 Bahasa Minang
Bahasa Minangkabau adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat Minangkabau yang jumlah penuturnya sekitar 6 juta orang (Gerard Moussay, 1998: 9). Separuh dari jumlah penutur tersebut tinggal di Propinsi Sumatera Barat sedangkan selebihnya tinggal di kawasan lain di luar propinsi tersebut. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat Minangkabau dikenal sebagai masyarakat yang suka merantau sehingga wilayah penggunaan bahasa Minangkabau jauh melangkaui batas-batas propinsi.
Para ahli bahasa menempatkan Bahasa Minangkabau sebagai salah satu kelompok Bahasa “Melayu Proto”. Namun demikian Bahasa Minangkabau menempati kedudukan yang unik sebagaimana dinyatakan oleh Robert Blust (1988:02), salah seorang ahli bahasa yang meneliti dan melakukan rekonstruksi cabang-cabang Bahasa Melayu Induk. Beliau meragukan pengelompokkan bahasa Minangkabau dalam kelompok “Proto Malay” karena bahasa Minangkabau bersama dengan bahasa Kerinci memiliki karakteristik bunyi yang berbeda (divergent phonological characteristics) apabila dibandingkan dengan bahasa yang tergabung dalam kelompok Proto Malay lainnya.
Robert Blust menempatkan Bahasa Minangkabau sebagai bahasa yang memiliki ciri-ciri kebahasaan yang unik yang lebih tua umurnya dibandingkan dengan Bahasa Indonesia (BI) maupun bahasa yang sekerabat dengannya seperti Melayu Medan (MED), Melayu Jakarta (JAK) maupun Melayu Ambon (AMB). Sementara itu, apabila dibandingkan dengan Bahasa Iban, Selako maupun Banjar, bahasa Minangkabau relatif lebih muda karena ketiga bahasa tersebut merupakan cabang atau turunan langsung bahasa Proto Malay.
5.2 Pranata Sosial Masyarakat Minang
Sistim kemasyarakatan Minangkabau ditandai dengan kuatnya pengaruh adat yang ditopang dengan sistem kekerabatan matrilineal. Sistem adat diwakili dengan adanya dua institusi adat yang dibentuk semenjak zaman kerajaan Minangkabau /Pagaruyung dalam mengatur pemerintahannya. Bahkan ada juga pendapat yang mengatakan, penyusunan itu dilakukan sebelum berdirinya kerajaan Pagaruyung. Kedua institusi tersebut masih tetap dijalankan oleh masyarakat adat Minangkabau sampai sekarang. Keberadaan dan peranannya sudah menjadi tatanan budaya yang diakui dan menjadi rujukan dalam menjalankan dan membicarakan tatanan adat alam Minangkabau. Dalam sebuah tatanan sosial kemasyarakatan, kedua institusi tersebut berjalan searah dengan instisuti lainnya atau lembaga-lembaga adat lainnya. Lembaga-lembaga tersebut terdiri dari: Rajo Tigo Selo; yang terdiri dari Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat.
Ditinjau dari garis kekerabatannya, masyarakat minang menganut sistem matrilineal. Sistem matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur kehidupan dan ketertiban suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jalinan kekerabatan dalam garis ibu. Seorang anak laki-laki atau perempuan merupakan klen dari perkauman ibu. Ayah tidak dapat memasukkan anaknya ke dalam klen-nya sebagaimana yang berlaku dalam sistem patrilineal. Oleh karena itu, waris dan pusaka diturunkan menurut garis ibu pula.
Sebagai sebuah sistem, matrilineal dijalankan berdasarkan kemampuan dan berbagai penafsiran oleh pelakunya; ninik-mamak, kaum perempuan dan anak kemenakan. Akan tetapi sebuah uraian atau perincian yang jelas dari pelaksanaan dari sistem ini, misalnya ketentuan-ketentuan yang pasti dan jelas tentang peranan seorang perempuan dan sanksi hukumnya kalau terjadi pelanggaran, ternyata sampai sekarang belum ada. Artinya tidak dijelaskan secara tegas tentang hukuman jika seorang Minang tidak menjalankan sistem matrilineal tersebut. Sistem itu hanya diajarkan secara turun temurun kemudian disepakati dan dipatuhi, tidak ada buku rujukan atau kitab undang-undangnya. Namun begitu, sejauh manapun sebuah penafsiran dilakukan atasnya, pada hakekatnya tetap dan tidak beranjak dari fungsi dan peranan perempuan itu sendiri.
Hal seperti dapat dianggap sebagai sebuah kekuatan sistem tersebut yang tetap terjaga sampai sekarang.
Dalam sistem matrilineal perempuan diposisikan sebagai pengikat, pemelihara dan penyimpan, sebagaimana diungkapkan pepatah adatnya amban puruak atau tempat penyimpanan. Itulah sebabnya barangkali, dalam penentuan peraturan dan perundang-undangan adat, perempuan tidak diikut sertakan. Perempuan menerima bersih tentang hak dan kewajiban di dalam adat yang telah diputuskan sebelumnya oleh pihak ninik mamak. Sebagai sebuah sistem kekuasaan adat dan sistem kekerabatan matrilineal memberikan pengaruh dalam panggilan sapaan di masyarakat Minang.
5.4 Penelitian Sebelumnya
Penelitian seb
6. TEORI
6.1 Hubungan Kata Sapaan dan Kelas Sosial
Kata sapaan adalah seperangkat kata atau ekspresi untuk menunjuk pada seseorang yang diajak bicara ketika pembicaraan berlangsung (Oyetade, 1995). Fasold (1990) mendefinisikan kata sapaan sebagai kata-kata yang digunakan seseorang untuk menunjuk seseorang yang sedang diajak bicara. Kata sapaan harus digunakan dengan hati-hati dengan memperhatikan posisi tingkat sosial orang yang diajak bicara (Wardaugh, 1998). Lebih lanjut, Brown dan Gilman (dalam Giglioli, 1972) menyatakan bahwa kata sapaan berperan dalam menandai ekspresi antara penutur dan lawan tutur yang memiliki perbedaan kedudukan (kekuasaan) dan keakraban.
Oleh karena itu, kata sapaan dipergunakan secara berbeda kepada orang yang memiliki perbedaan kedudukan (kekuasaan) dan keakraban.
Kata sapaan dikaitkan dengan kekuasaan yang dimiliki seseorang atas orang lain di bawahnya (Oyetade, 1995). Kekuasaan ini berpola vertikal, yaitu jarak antara penutur dan mitra tutur yang meliputi: umur, kedudukan, pekerjaan, pendidikan, dan lain sebagainya. Sedangkan pola horizontal adalah kata sapaan yang ditentukan oleh keakraban antara penutur dan mitra tutur disebut juga oleh Brown dan Gillman sebagai power and solidarity theory. Contoh kata sistem kata sapaan bersifat vertikal adalah gelar kebangsawanan sedangkan contoh kata sapaan bersifat horizontal maupun vertikal adalah kata ganti.
Selain bentuk sapaan berpola horizontal dan vertikan, terdapat juga bentuk sapaan yang diakibatkan pertalian darah. Kata sapaan kekerabatan bersifat unik karena kata sapaan muncul akibat bersatunya individu-individu yang berada di luar sistem kekerabatan ke dalam sistem kekerabatan melalui ikatan pernikahan. Dari pernikahan ini memunculkan kata sapaan kekerabatan berdasarkan ikatan darah dan kata kekerabatan di luar ikatan darah atau bersatunya dua keluarga. Keunikan lainnya adalah sistem sapaan kekerabatan merupakan sistem panggilan tersendiri di luar sistem sapaan berpola horizontal dan vertikal dan bentuk sapaan digunakan sama baik di dalam kelompok keluarga maupun di luar kelompok itu. Sistem hubungan kekerabatan akibat pernikahan atau ikatan darah memegang peranan penting dalam menentukan pilihan kata sapaan, sebab sapaan kekerabatan ini mengandung unsur penghormatan dalam berututur sapa; menunjukkan kedudukan seseorang dalam silsilah kekerabatan berdasarkan usia; menunjukkan hubungan antar anggota keluarga.
6.2 Peranan Komponen Tutur (SPEAKING) dalam Kata Sapaan
Sapaan adalah cara mengacu seseorang di dalam interaksi linguistik secara langsung (Crystal,1991). Menurut Kridalaksana (1985), semua bahasa mempunyai sistem tutur sapa, yaitu seperangkat kata atau ungkapan yang dpakai untuk menyebut dan memanggil para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa. Variasi-variasi bentuk sapaan ditentukan oleh faktor waktu, tempat, sosiokultural, faktor situasi, dan medium pengungkapan.
Salah satu cara untuk mengetahui variasi-variasi bentuk sapaan adalah dengan menggunakan komponen tutur SPEAKING yang dkemukakan oleh Hymes (1972). Hymes menyatakan bahwa sebuah peristiwa tutur yang komunikatif diperoleh dari deskripsi atas berbagai faktor yang relevan kepada pemahaman bagaimana peristiwa komunikatif itu sampai pada sasaran atau tujuannya. Konsepnya bisa dijelaskan pada setiap awal huruf, yaitu meliputi:
Komponen Tutur SPEAKING
Komponen Tutur | Keterangan |
S : Situasi (act situation) | Komponen ini mencakup latar dan suasana. Latar berkaitan dengan lingkungan fisik komunikasi, yaitu waktu dan tempat. Sedangkan suasana berkaitan dengan suasana psikologis antara penutur dan yang diajak bicara, yaitu situasi formal atau santai. |
P : Partisipan | Komponen ini mencakup penutur dan mitra tutur. |
E : End (tujuan) | Tujuan adalah hal yang ingin dicapai atau maksud dari peristiwa tutur dipandang dari sudut budaya (outcomes) dan tujuan dari masing-masing partisipan (goals). |
A : Act sequence (urutan tindak) | Act sequence mencakup bentuk pesan (bagaimana pesan itu disampaikan dan isi pesan (apa yang disampaikan). |
K : Key (kunci) | Key (kunci) mengacu pada bagaimana suatu tuturan disampaikan, misalnya serius, khidmat, lucu, sinis, dan sebagainya. |
I : Instrumentalities | Instrumen mencakup saluran (lisan, tulis, e-mail) dan bentuk tutur ( misalnya mengacu pada bahasa, dialek, kode, register, dan sebagainya). |
N : Norms atau norma | Norma mencakup interaksi dan interpretasi. Misalnya, bagaimana orang Jawa selalu mematuhi sopan santun sebagai norma interaksi, meskipun hanya tuturan fatis. |
G : Genre | Genre mengacu pada jenis-jenis wacana yang dipakai, misalnya puisi, khutbah, lawak, perkuliahan, dan sebagainya. |
Pada pembahasan diuraikan bentuk-bentuk sapaan dan contoh pemkaiannya dalam berkomunikasi dengan menggunakan komponen tutur SPEAKING.
7. KATA SAPAAN SEBAGAI KATA GANTI DIRI
Pada suatu jenis bahasa, terdapat penggunaan istilah-istilah kekerabatan yang digunakan penuturnya. Istilah-istilah kekerabatan dalam suatu bahasa timbul karena keperluan untuk menyatakan kedudukan diri seseorang secara komunikatif dalam suatu keluarga (Medan, 1988). Seseorang disebut berkerabat apabila ada pertalian darah atau perkawinan. Dengan kata lain, pertalian darah disebut pertalian langsung sedangkan pertalian perkawinan disebut pertalian tidak langsung.
Dalam bahasa Minang, ditemukan beberapa kata sapaan kekerabatan. Pada bagian ini akan dianalisis jenis-jenis kata sapaan bahasa Minang untuk kekerabatan. Adapun analisis untuk kekerabatan tersebut dibatasi pada kelompok keluarga inti dalam tiga generasi.
Berdasarkan data jawaban responden diketahui bahwa dalam bahasa Minang, penggunaan kata ganti diri beragam. Kata ganti orang pertama menggunakan awak, ambo, aden dan denai. Penggunaan kata ‘awak’ dan ‘ambo’ dirasa lebih sopan dibandingkan dengan kata ‘aden’. Sedangkan penggunaan kata ‘denai’ lebih sering digunakan oleh perempuan. Kata ‘aden’ lebih sering digunakan oleh laki-laki yang sebaya dan mempunyai hubungan yang sudah dekat dan akrab. Namun, tak jarang penggunaan kata ‘aden’ juga ditemukan pada percakapan seseorang yang tua kepada yang lebih muda usianya. Penggunaan kata ganti diri orang pertama ini juga lebih sering menggunakan nama diri seseorang.
Kata ‘waang’ ditujukan kepada laki-laki dan ‘ kau/gau’ digunakan untuk perempuan untuk menunjukkan kata ganti orang kedua. Penggunaan kata ini dianggap kurang sopan, kecuali bagi mereka yang sudah memiliki hubungan yang sangat akrab dan usia sebaya. Kata ganti orang kedua lebih sering menggunakan nama diri dan dianggap lebih sopan.
Kata ganti orang ketiga menggunakan kata sapaan ‘(i)nyo. Dalam bahasa Minang, tidak ada perbedaan untuk menunjukkan kata ganti orang ketiga tunggal dan jamak. Perbedaan keduanya dapat dilihat sesuai dengan penggunaannya dalam suatu kalimat. Kata ganti ‘(i)nyo ini sangat lazim digunakan.
Dari uraian di atas dapat diuraikan kata sapaan dalam bahasa Minang pada bagan berikut ini.
Kata sapaan untuk | Bentuk sapaan |
saya | Awak, ambo, aden, denai |
kamu | Waang (lk) kau (pr) |
dia | (i)nyo |
mereka | (i)nyo |
Di bawah ini contoh penggunaan kata sapaan sebagai kata ganti diri beserta analisis komponen tutur SPEAKING.
A : kama waang cako?
‘kamu kemana?’
B: Payi ka rumahnyo.
‘pergi ke rumah dia.’
Kata sapaan yang terdapat pada contoh di atas adalah ‘waang’ dan ‘(i)nyo.
1. Setting
‘Waang’ merupakan kata sapaan untuk kata ganti orang kedua. Kata sapaan ini ditujukan kepada teman sebaya atau dapat juga digunakan oleh seseorang yang lebih tua kepada yang lebih kecil. Percakapan seperti ini terjadi biasanya ketika bertemu dengan teman, hanya untuk sekedar menanyakan kabar, misalnya ketika bertemu di jalan atau rumahnya. Dalam hubungan kekerabatan, sebutan ‘waang’ ini juga digunakan oleh seseorang yang lebih tua, misalnya seorang ayah/ibu kepada anak laki-lakinya. Panggilan ini lazim digunakan di mana saja dan kapan saja. ‘Inyo’ adalah kata sapaan yang digunakan sebagai kata ganti orang ketiga. Pada percakapan di atas, (i)nyo dapat juga menunjukkan kata ganti kepunyaan orang ketiga. Kata ganti ini sangat umum digunakan dalam berbagai situasi.
2. Participants
Penutur menggunakan kata ‘waang’ ditujukan untuk temannya (laki-laki), berbeda dengan ‘kau’ yang digunakan kepada perempuan. ‘Waang’ berarti ‘kamu’ dan ‘inyo’ berarti ‘dia’. Pada percakapan di atas, ‘inyo’ ditujukan kepada kata ganti orang ketiga tunggal. Dalam bahasa Minang, kata ganti orang ketiga jamak tetap menggunakan kata ‘inyo’, cara membedakannya yaitu sesuai dengan gambaran situasi yang ditunjukkan dalam sebuah percakapan.
3. End
Tujuan dari penutur adalah menanyakan kabar / aktifitas kepada teman sebaya dan tuturannya disampaikan tidak serius.
4. Act sequences
Bentuk tuturannya berupa kalimat langsung, yaitu penutur menanyakan langsung kepada ‘waang’ (mitra tutur). Bentuk tuturannya adalah kalimat tanya .
5. Key
Cara penyampaiannya tidak serius atau olok-olok. Hubungan yang sudah dekat antara penutur dan mitra tutur menunjukkan bahwa penyampaiannya secara tidak serius, dalam suasana santai dan gembira.
6. Instrumentalities
Wacana yang digunakan adalah tuturan langsung secara oral.
7. Norma
Penggunaan kata ‘waang’ ditujukan kepada laki-laki. Saat ini, penggunaan kata ‘waang’ sudah sangat jarang digunakan dan dianggap kasar / rendah. Penggunaa kata tersebut sangat terbatas dan tergantung pada situasi dan lawan bicaranya, misalnya kepada seseorang yang sudah mempunyai hubungan yang akrab dan usia yang sebaya untuk saling menyapa di antara mereka. Penggunaan kata ini pun sering diganti dengan panggilan nama diri dan dianggap lebih sopan.
8. Genre.
Tipe yang digunakan dalam tuturan ini adalah tuturan langsung.
4. Kata Sapaan dalam Kekerabatan
Kata sapaan dalam sistem kerabat terbagi menjadi dua, yaitu kata sapaan yang disebabkan ikatan darah dan diakibatkan bersatunya dua individu dalam ikatan pernikahan. Kata sapaan dalam kekerabatan juga ditentukan oleh faktor hubungan dan posisi seseorang dalam suatu kekerabatan. Pada bagian ini dibahas kata sapaan dalam masyarakat Minang karena ikatan darah.
Berdasarkan data jawaban responden diketahui bahwa penggunaan kata sapaan kekerabatan keluarga dalam bahasa Minangkabau beragam. Kata sapaan yang digunakan dalam keluarga ibu dan bapak berbeda. Begitu juga dengan panggilan untuk saudara laki-laki atau saudara perempuan yang lebih tua atau lebih kecil.
NO. | Hubungan Keluarga | Sapaan |
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. | Saudara perempuan Saudara laki-laki Ibu Saudara ibu (perempuan) Saudara ibu (laki-laki) Bapak Saudara bapak (perempuan) Saudara bapak (laki-laki) Ibu dari ibu Bapak dari ibu Ibu dari bapak Bapak dari bapak | Uni / akak + nama Uda Ama, amai, biyai, amak Mak Wo, Etek, ante Mak dang, Mak etek Apa, apak, abak Mak Tuo, Ante Pak dang, Pak Etek Uwo Gaek, inyiak Umi Buya |
Kata sapaan untuk saudara perempuan (dari ibu) dipanggil Mak wo dan etek / ante. Mak wo digunakan untuk kata sapaan kepada saudara perempuan dari ibu yang lebih tua (berarti ibu yang lebih tua), sedangkan kepada saudara perempuan ibu yang lebih kecil dipanggil etek atau ante (yang berarti kecil). Begitu juga kepada saudara laki-laki dari ibu dipanggil Mak Dang dan Mak Etek. Mak dang (berarti mamak yang paling gadang ‘besar’) ditujukan kepada paman yang lebih tua. Dan mak etek (mamak yang ketek ‘kecil’) kepada yang saudara laki laki ibu yang kecil.
Dalam keluarga ayah, panggilan Pak Dang ditujukan kepada saudara laki-laki bapak yang lebih tua (berarti bapak yang lebih besar ‘gadang’) dan Pak etek kepada saudara laki-laki bapak yang kecil (berarti bapak yang kecil ‘ketek’). Saudara perempuan ayah yang lebih tua disebut Mak tuo (ibu/ amak yang lebih tua) dan ante untuk saudara perempuan bapak yang lebih kecil.
Dalam keluarga ibu, ibu dari ibu dipanggil dengan kata sapaan ‘uwo’ dan bapak dipanggil dengan ‘gaek’ yang berati dituakan. Dalam keluarga bapak, ‘umi’ merupakan panggilan untuk ibu dari bapak sedangkan ‘buya’ kata sapaan untuk bapak dari bapak.
Contoh:
A: Ka pai Mak Dang?
‘Paman, mau kemana?’
B: Ka payi ka pasa, buka toko.
‘Mau pergi ke pasar, berdagang.’
Kata sapaan yang terdapat pada contoh di atas adalah ‘Mak Dang’.
1. Setting
Mak Dang adalah sapaan untuk saudara laki-laki dari ibu. Sapaan ‘Mak Dang’ harus dilakukan oleh seorang kemenakan (keponakan) kepada saudara laki-laki tertua dari ibu. Berbeda dengan sapaan ‘Mak etek’, sapaan ini ditujukan kepada saudara laki laki (adik) dari ibu. Percakapan ini terjadi biasanya ketika bertemu dengan ‘Mak Dang’ di pagi hari, saat bersama-sama memulai aktivitas tiap harinya. Latar tempat terjadi di rumah penutur atau di rumah mitra tutur.
2. Participants
Penutur yang memanfaatkan waktu bertemu dengan Mak Dang. Mak Dang yaitu saudara laki-laki ibu (mitra tutur) merupakan yang disapa dan penutur sendiri adalah sebagai penyapa. Kata sapaan ‘Mak Dang” hanya digunakan oleh semua kemenakan yaitu anak dari saudara perempuan Mak Dang.
3. End
Tujuan dari penutur adalah menanyakan aktifitas kepada Mak Dang dan tuturannya disampaikan serius.
4. Act sequences
Bentuk tuturannya berupa kalimat langsung, yaitu penutur menanyakan langsung kepada Mak Dang (mitra tutur). Bentuk tuturannya adalah kalimat lengkap.
5. Key
Cara penyampaian dengan rasa hormat dan santun. Nada suara yang dipakai adalah netral.
6. Instrumentalities
Wacana yang digunakan adalah tuturan langsung secara oral.
7. Norma
Terkait dengan norma atau adat yang tersistem dalam hubungan keluarga, Mak Dang sebagai saudara laki-laki tertua dari ibu pada tingkat sosialnya adalah sosok yang harus dihormati dan disegani dalam keluarga ibu. Dimana, dalam adat Minangkabau, Mak Dang berperan sebagai mamak (paman) yang mengayomi dan membimbing kemenakannya (keponakannya).
8.Genre.
Tipe yang digunakan dalam tuturan ini adalah tuturan langsung.
5.3 Kata Sapaan Adat dalam Masyarakat Minang
Dalam masyarakat Minangkabau, setiap individu terikat dan terlibat dengan adat, hampir semua laki-laki dewasa menyandang gelar adat, dan semua hubungan kekerabatan diatur secara adat. Kata sapaan ini dipakai oleh setiap orang di seluruh pelosok daerah dan tidak menjadi adat para bangsawan dan raja-raja saja. Masyarakat Minangkabau tidak mengenal gelar kebangsawanan. Kata sapaan dalam bahasa Minang banyak yangberkaitan dengan kedudukan seseorang dalam lembaga adat Minangkabau atau dikaitkan dengan tugas seseorang yang memangku jabatan keagamaan. Hal ini karena masyarakat Minangkabau dipengaruhi kuat oleh sistem adat dan agama.
Kata sapaan adat ialah kata sapaan yang digunakan untuk menyapa seseorang yang mempunyai kedudukan sebagai kepala kaum(suku) atau menyapa seseorang yang telah berumah tangga. Kedua gelar itu merupakan gelar pusaka yang diwariskan turun temurun dalam suku tersebut. Gelar untuk setiap kepala suku atau gelar untuk setiap orang yang telah menikah berbeda-beda dan ini tergantung pada suku masing-masing. Namun demikian, gelar tersebut selalu diawali dengan bentuk seperti datuak atau sutan yang kemudian diikuti oleh bentuk lain yang bervariasi, seperti Datuak Rajo Ameh, Sutan Mantari dan lain-lain.
Berdasarkan data jawaban dari responden diketahui bahwa kata sapaan adat meliputi
| Sebutan gelar | Bentuk kata sapaan |
1 | Kepala kaum atau suku | (da) tuak, pangulu, rangkayo, inyiak, angku |
2 | Gelar setelah menikah | Paduko (sati), paduko (sutan), sutan (mantari), rajo ameh, rajo bintang. |
Gelar penghulu adalah warisan adat yang hanya bisa diturunkan kepada kemenakannya dalam suatu upacara besar dengan kesepakatan kaum setelah penghulu yang bersangkutan meninggal dunia. Tetapi gelar untuk seorang laki-laki yang akan kawin dapat diberikan kepada siapa saja tanpa suatu acara adat yang khusus. Penghulu merupakan gelar tertinggi dalam suatu kaum atau suku yang mempunyai gelar ‘datuk’.
Sesuatu yang khas Minangkabau ialah bahwa setiap laki-laki yang telah dianggap dewasa harus mempunyai gelar. Ini sesuai dengan pantun adat yang berbunyi sbb :
Ketek banamo gadang bagala
(sewaktu kecil mempunyai nama, setelah dewasa diberi gelar)
Ukuran dewasa seorang laki-laki ditentukan apabila ia telah berumah tangga. Oleh karena itulah untuk setiap pemuda Minang, pada hari perkawinannya ia harus diberi gelar pusaka kaumnya. Selain itu, sistem matrilineal yang dianut masyarakat Minangkabau, menganggap bahwa seorang laki-laki merupakan tamu di pihak keluarga istrinya. Gelar ini merupakan panggilan kehormatan baginya, yang mengisyaratkan bahwa ia dihormati dan dianggap telah dewasa terutama setelah ia menikah. Setelah menikah ia akan dipanggil dengan gelar kehormatannya itu di hadapan banyak orang. Dengan gelar itu berarti dia dianggap penting di keluarga dan di masyarakatnya, bisa dibawa berunding dan dimintakan pendapatnya ketika ada persoalan yang menyangkut keluarga dan masyarakatnya.
Selain gelar adat, Minangkabau juga mengenal sistem sapaan agama. Seseorang yang dipandang memiliki pengetahuan agama yang tinggi disebut dengan angku/tuanku. Sedangkan bagi yang perempuan disebut dengan umi. Pemberian gelar ini tidak diwariskan secara turun temurun namun lebih menurut kesepakatan adat
6. Penutup
Dari uraian diatas dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1. Sapaan sebagai kata ganti diri
Sapaan sebagai kata ganti diri dalam bahasa Minang, Bugis, dan Jawa memiliki beberapa variasi. Varisi ini dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, yaitu usia, kelas sosial, jenis kelamin, hubungan kekerabatan, dan lain sebagainya. Variasi kata sapaan sebagai kata ganti diri kamu dalam bahasa Jawa , misalnya kowe, sampeyan, panjenegan. Variasi kata sapaan kamu dalam bahasa bugis adalah idiq, iko. Variasi kata sapaan kamu dalam bahasa Minang yaitu waang dan kau / gau.
2. Sapaan dalam kekerabatan
Dalam bahasa Jawa, terdapat kata sapaan kekerabatan yang berbeda dalam kelas sosial yang berbeda. Selain itu, terdapat bentuk pemendekan kata sapaan. Kata sapaan kekerabatan bahasa Jawa dapat dianalisis dalam komponen tutur. Dalam bahasa Jawa, kata sapaan dalam kekerabatan untuk ibu adalah simbok, biyung, ibu. Variasi kata sapaan dalam kekerabatan bahasa Bugis untuk kata Ibu adalah Baoa Ambe, Abba, Etta. Variasi kata sapaan ibu dalam bahasa Minang misalnya ama, amak, amai dan biyai.
3. Sapaan sebagai penunjuk gelar kebangsawanan
Di dalam bahasa Jawa sapaan untuk gelar kraton hanya digunakan pada saat acara- acara resmi internal kraton atau pada situasi resmi di daerah tersebut saja (Yogyakarta dan Surakarta). Apabila keturunan keraton ini bergabung di dalam masyarakat, sapaan gelar kebangsawanan yang disandang tidaklah disebutkan, meskipun itu tercantum dalam nama mereka. Misalnya dalam situasi di sekolah, kantor, atau rumahsakit. Pada bahasa Bugis kata sapaan kebangsawanan adalah datu, petta dan andi (dalam lontara tidak dijumpai kata andi, yang ada adalah daeng). Dalam masyarakat Minangkabau, setiap individu terikat dan terlibat dengan adat, hampir semua laki-laki dewasa menyandang gelar adat, dan semua hubungan kekerabatan diatur secara adat. Kata sapaan dalam bahasa Minang yang berkaitan dengan kedudukan seseorang dalam lembaga adat Minangkabau atau juga dikaitkan dengan tugas seseorang yang memangku jabatan keagamaan. Oleh karena itu, tidak ada penamaan kata sapaan gelar bangsawan dalam bahasa Minangkabau.
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam bahasa Jawa, Bugis, dan Minang memiliki kata sapaan dalam berbagai tingkat yang merupakan cerminan dari pranata sosial di dalam masyarakat. Kata sapaan juga merupakan bentuk kesantunan yang perlu memperhatikan konteks penggunaannya. Sistem kata sapaan dalam bahasa Jawa lebih kompleks dibanding sapaan dalam bahasa Minang dan Bugis. Hal ini karena masyarakat Jawa menganut sistem sapaan yang dipengaruhi oleh keadaan sosial masyarakatnya yang masih dipengaruhi oleh sistem feodal.
Daftar Pustaka
Bates, Elisabeth dan Laura Begini. 1974. Rule of Address in Italy; A Sociolinguical Survey in Languange and society 4. London: Cambridge University Press.
Bell, T. Roger. 1976. Sociolinguistics, goals approaches and problems. New York: ST. Martin’s Press.
Blust, Robert. 1988. Austronesian Root Theory: An Essay on the Limits of Morphology. Amsterdam: John Benjamins.
Brown, R and Gilman, A. The Pronouns of Power and Solidarity dalam Giglioli Pier Paolo (ed.).
Clark, Herbert H. & Eve V. Clark. 1972. Language and Social Context. England: Penguin Books. 1977. Pshyhology and Language. New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc.
Crystal, David. 1991. A Dictionary of Linguistics and Phonetics. Massachusetts:Basil Blacwell
Hudson, R.A.1980. Sociolinguistics. Cambridge University Press.
Hymes, Dell.1972. Direction in Sociolinguistics: The Ethnoghraphy of Communication. Edited by Gumpers, John J. New York : Holt, Rinehart and Winston.
Kaseng, Sjahruddin. Valensi Morfologi Dasar Kata Kera Bahasa Bugis Soppeng. Disertasi Universitas Indonesia.
Kridalaksana, Harimurti. 1977. Istilah Linguistik Inggris Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
_______. 1985. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende Flores: Nusa Indah.
Laksono, Kisyani. 2002. “Bahasa Jawa di Jawa Timur Bagian Utara dan Blambangan, Kajian Dialektologis”. Disertasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Marsono. 2011. Morfologi Bahasa Indonesia dan Nusantara. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Moussay, Gerard. 1998. Tata Bahasa Minangkabau. Jakarta: Kepustakaan Popular Gramedia.
Rusydi. 1985. Kosakata Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Said, D.M.M. Ide. 1975. Kamus Bugis Bahasa Indonesia. Pusat Pembinaan dan Pengenbangan Bahasa. Dep. P dan K. Jakarta.
Soepomo Poedjosoedarmo, dkk. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud.
Thomas, Linda dan Shan Wareing. 2007. Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Uhlenbeck, E.M. 1964. A Critical Survey of Studies on the Languages of Java and Madura. The Hague: Martinus Nijhoff.
Wardaugh, ronald.1992. An Introduction Sociolinguistics. Second Edition. New York: Basic Blackwell
Yatim, Nurdin. 1983. Subsistem Honorifik Bahasa Makassar. Sebuah Analisis Sosiolinguistik. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat. Dep. P dan K. Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar