MODEL PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK
SEBAGAI ALTERNATIVE MENGATASI MASALAH
PEMBELAJARAN
Oleh: Dina Gasong
- Pengantar
Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang
berkembang begitu pesat pada era globalisasi, membawa perubahan yang sangat
radikal. Perubahan itu telah berdampak pada setiap aspek kehidupan, termasuk
pada system pendidikan dan pembelajaran. Dampak dari perubahan yang luar biasa
itu terbentuknya suatu ‘kumonitas global’, lebih parah lagi karena komunitas
global itu ternyata tiba jauh lebih cepat dari yang diperhitungkan: revulusi
informasi telah menghadirkan dunia baru yang benar-benar hyper-reality.
Akibat dari perubahan yang begitu cepatnya, manusia
tidak bias lagi hanya bergantung pada seperangkat nilai, keyakinan, dan pola
aktivitas social yang konstan. Manusia dipaksa secara berkelanjutan untuk
menilai kembali posisi sehubungan dengan factor-faktor tersebut dalam rangka
membangu sebuah konstruksi social-personal yang memungkin atau yang tampaknya
memungkinkan. Jika masyarakat mampu bertahan dalam menghadapi tantangan
perubahan di dalam dunia pengetahuan, teknologi, komunikasi serta konstruksi
social budaya ini, maka kita hasrus mengembangkan proses-proses baru untuk
menghadapi masalah-masalah baru ini. Kita tidak dapat lagi bergantung pada jawaban-jawaban
masa lalu karena jawaban-jawaban tersebut begitu cepatnya tidak berlaku seiring
dengan perubahan yang terjadi. Pengetahuan, metode-metode, dan
keterampilan-keterampilan menjadi suatu hal yang ketinggalan zaman hamper
bersamaan dengan saat hal-hal ini memberikan hasilnya. Degeng (1998) menyatakan
bahwa kita telah memasuki era kesemrawutan. Era yang datangnya begitu tiba-tiba
dan tak seorang pun mampu menolaknya. Kita harus masuk di dalamnya dan
diobok-obok. Era kesemrawutan tidak dapat dijawab dengan paradigma keteraturan,
kepastian, dan ketertiban. Era kesemrawutan harus dijawab dengan paradigma
kesemrawutan. Era kesemrawutan ini dilandasi oleh teori dan konsep
konstruktivistik; suatu teori pembelajaran yang kini banyak dianut di kalangan
pendidikan di AS. Unsure terpenting dalam konstruktivistik adalah kebebasan dan
keberagaman. Kebebasan yang dimaksud ialah kebebasan untuk melakukan
pilihan-pilihan sesuai dengan pa yang mampu dan mau dilakukan oleh si belajar.
Keberagaman yang dimaksud adalah si belajar menyadari bahwa individunya berbeda
dengan orang/kelompok lain, dan orang/kelompok lain berbeda dengan individunya.
Alternative pendekatan pembelajaran ini bagi Indonesia
yang sedang menempatkan reformasi sebagai wacana kehidupan berbangsa dan bernegara,
bukan hanya di bidang pendidikan, melainkan juga di segala bidang. Selama ini,
wacana kita adalah behavioristik yang berorientasi pada penyeragaman yang pada
akhirnya membentuk manusia Indonesia yang sangat sulit menghargai perbedaan.
Perilaku yang berbeda lebih dilihat sebagai kesalahan yang harus dihukum.
Perilaku manusia Indonesia selama ini sudah terjangkit virus kesamaan, virus
keteraturan, dan lebih jauh virus inilah yang mengendalikan perilaku kita dalam
berbangsa dan bernegara.
Longworth (1999) meringkas fenomenan ini dengan
menyatakan: ‘Kita perlu mengubah focus kita dan apa yang perlu dipelajari menjadi bagaimana caranya untuk mempelajari. Perubahan yang harus terjadi
adalah perubahan dari isi menjadi proses. Belajar bagaimana cara belajar untuk mempelajari sesuatu menjadi suatu hal
yang lebih penting daripada fakta-fakta dan konsep-konsep yang dipelajari itu
sendiri’.
Oleh karena itu, pendidikan harus mempersiapkan para
individu untuk siap hidup dalam sebuah dunia di mana masalah-masalah muncul
jauh lebih cepat daripada jawaban dari masalah tersebut, di mana ketidakpastian
dan ambiguitas dari perubahan dapat dihadapi secara terbuka, di mana para
individu memiliki keterampilan-keterampilan yang diperlukannya untuk secara
berkelanjutan menyesuaikan hubungan mereka dengan sebuah dunia yang terus
berubah, dan di mana tiap-tiap dan kita menjadi pemberi arti dari keberadaan
kita. Beare & Slaughter (1993) menagaskan, ‘Hal ini tidak hanya berarti
teknik-teknik baru dalam pendidikan, tetapi juga tujuan baru. Tujuan pendidikan
haruslah unutk mengembangkan suatu masyarakat di mana orang-orang dapat hidup
secara lebih nyaman dengan adanya perubahan daripada dengan adanya kepastian.
Dalam dunia yang akan datang, kemampuan untuk menghadapi hal-hal baru secara
tepat lebih penting daripada kemampuan untuk mengetahui dang mengulangi hal-hal
lama.
Kebutuhan akan orientasi baru dalam pendidikan ini
terasa begitu kuat dan nyata dalam berbagai bidang studi, baik dalam bidang
studi eksakta maupun ilmu-ilmu social. Para pendidik, praktisi pendidikan dan
kita semua, mau tidak mau harus merespon perubahan yang terjadi dengan mengubah
paradigma pendidikan. Untuk menjawab dan mengatasi perubahan yang terjadi secara
terus-menerus, alternative yang dapat digunakan adalah paradigmna
konstruktivistik.
- Hakikat
Pembelajaran Behavioristik dan Pembelajaran Konstruktivistik
a. Hakikat Pembelajaran
Behavioristik
Thornike, salah seorang penganut paham behavioristik, menyatakan bahwa
belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara
peristiwa-peristiwa yang sisebut stimulus (S) dengan respon ® yang diberikan
atas stimulus tersebut. Pernyataan Thorndike ini didasarkan pada hasil
eksperimennya di laboratorium yang menggunakan beberapa jenis hewan seperti kucing,
anjing, monyet, dan ayam. Menurutnya, dari berbeagai situasi yang diberikan
seekor hewan akan memberikan sejumlah respon, dan tindakan yang dapat terbentuk
bergantung pada kekuatan keneksi atau ikatan-ikatan antara situasi dan respon
tertentu. Kemudian ia menyimpulkan bahwa semua tingkah laku manusia baik
pikiran maupun tindakan dapat dianalisis dalam bagian-bagian dari dua struktur
yang sederhana, yaitu stimulus dan respon. Dengan demikian, menurut pandangan
ini dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara stimulus dan
respon. Oleh karena itu, menurut Hudojo (1990:14) teori Thondike ini disebut
teori asosiasi.
Selanjutnya, Thorndike (dalam Orton, 1991:39-40; Resnick, 1981:13)
mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti
hokum-hukum berikut: (1) Hukum latihan (law of exercise), yaitu apabila
asosiasi antara stimulus dan respon serting terjadi, maka asosiasi itu akan
terbentuk semakin kuat. Interpretasi dari hokum ini adalah semakin sering suatu
pengetahuan – yang telah terbentuk akibat tejadinya asosiasi antara stimulus
dan respon – dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat; (2)
Hukum akibat (law of effect), yaitu apabila asosiasi yang terbentuk antara
stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin
meningkat. Hal ini berarti (idealnya), jika suatu respon yang diberikan oleh
seseorang terhadap suatu stimulus adalah benar dan ia mengetahuinya, maka
kepuasan akan tercapai dan asosiasi akan diperkuat.
Penganut paham psikologi behavior yang lain yaitu Skinner, berpendapat
hamper senada dengan hokum akibat dari Thorndike. Ia mengemukakan bahwa unsur
terpenting dalam belajar adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah
pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus – respon akan semakin kuat
bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu
penguatan positif dan penguatan negative. Penguatan positif sebagai stimulus,
apabila representasinya mengiringi suatu tingkah laku yang cenderung dapat
meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu. Sedangkan penguatan
negative adalah stimulus yang dihilangkan/dihapuskan karena cenderung
menguatkan tingkah laku (Bell, 1981:151).
b. Hakikat pembelajaran Konstruktivisme
Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang subyek aktif
menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan.
Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian
realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun
melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur
kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan
lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi
secara terus menerus melalui proses rekonstruksi.
Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses
pembelajaran, si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang
harus aktif mengembangkan pengetahuan
mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab
terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu
dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk
berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa.
Belajar lebih diarahkan pada experimental
learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman
konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian
dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya
aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan
pada pebelajar.
Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik,
yaitu: (1) mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang
relevan, (2) mengutamakan proses, (3) menanamkan pembelajran dalam konteks
pengalaman social, (4) pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi
pengalaman (Pranata, http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/.).
Hakikat pembelajaran konstruktivistik oleh Brooks & Brooks dalam
Degeng mengatakan bahwa pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer,
selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan
pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta
interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar si belajar termotivasi
dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si
belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergentung pada
pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.
3. Aspek-aspek Pembelajaran Konstruktivistik
Fornot mengemukakan aaspek-aspek konstruktivitik sebagai berikut:
adaptasi (adaptation), konsep pada
lingkungan (the concept of envieronmet),
dan pembentukan makna (the construction
of meaning). Dari ketiga aspek tersebut oleh J. Piaget bermakna yaitu adaptasi terhadap lingkungan
dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan
persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah
ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang
menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema
yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan
menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata.
Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan
mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru perngertian orang itu berkembang.
Akomodasi, dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak
dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai.
Pengalaman yang baru itu bias jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang
telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi
terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau
memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget
adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila
dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap
lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan (disequilibrium). Akibat
ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan struktur kognitif yang
ada yang akan mengalami atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan
intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan
ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi
bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih
tinggi daripada sebelumnya.
Tingkatan pengetahuan atau pengetahuan berjenjang ini oleh Vygotskian
disebutnya sebagai scaffolding.
Scaffolding, berarti membrikan kepada seorang individu sejumlah besar
bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan
tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung
jawab yang semakin besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang
diberikan pembelajar dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan
masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky
mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan
permasalahan, yaitu (1) siswa mencapai keberhasilan dengan baik, (2) siswa
mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa gagal meraih keberhasilan. Scaffolding, berarti upaya pembelajar
untuk membimbing siswa dalam upayanya mencapai keberhasilan. Dorongan guru
sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang yang lebih tinggi menjadi
optimum.
Konstruktivisme Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi
secara kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh
setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan memalui adaptasi intelektual
dalam konteks social budaya. Proses penyesuaian itu equivalent dengan
pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual yakni melalui proses
regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih
menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual.
Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah: (1), mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam
komunikasi social yang dimulai proses pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai
kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan, (2) zona of proximal development. Pembelajar sebagai mediator memiliki peran mendorong dan
menjembatani siswa dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan
kompetensi.
Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakikat
pembelajaran sosiakultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi
antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada
lingkungan social pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, funsi kognitif manusia
berasal dari interaksi social masing-masing individu dalam konteks budaya.
Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani
tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan
kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development mereka. Zona of proximal development adalah
daerah antar tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai
kemampuan memecahkan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial
yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang
dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu. Pengetahuan berjenjang tersebut
seperti pada sekema berikut.
|
||||||
|
||||||
Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi
bila seseorang terlibat secara social dalam dialog dan aktif dalam
percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna adalah dialog antar
pribadi.dalam hal ini pebelajar tidak hanya memerlukan akses pengalaman fisik
tetapi juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu lain.
Pembelajaran yang sifatnya kooperatif (cooperative
learning) ini muncul ketika siswa bekerja sama untuk mencapai tujuan
belajar yang diinginka oleh siswa. Pengelolaan kelas menurut cooperative learning bertujuan membantu
siswa untuk mengembangkan niat dan kiat
bekerja sama dan berinteraksi dengna siswa yang lain. Ada tiga hal
penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kelas yaitu: pengelompokan,
semangar kooperatif dan penataan kelas. (Pranata, http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/.
Pengetahuan berjenjang tersebut
dapat digambarkan seperti pada skema berikut:
Secara singkat teori Peaget dan Vygotsky dapat dikemukakan dalam table
berikut ini.
Tabel 1
Piagetian and Vygotskyan Constructivism
|
Piagetian Constructivism
|
Vygotsky Constructivism
|
Concept
|
constructivism
focus on individual cognitive development through co-constructed learning
environments with national, decontextualized thinking as the goal of
development
|
Vygotsky, in
order to understand human development, a multilevel analysis using all four
levels of history must be employed:
sosiocultural constructivism,
|
Subject
of Study
|
Focus on the
development of autonomous cognitive forms within the individual, culminating
in rational thought that is decentered from the individual.
|
argued that
individual development cannot be understood without reference to the
interpersonal and institutional surround which situates the child
|
Develop-ment
of cognitive forms
|
the structure
of the mind is the source of our understanding of the world.
|
the
construction of knowledge occurs through interaction in the social world.
Thus for Vygotsky the development of cognitive forms occurs by means of the dialectical
relationship between the individual and the social context
|
Pembelajaran konstruktivistik dan
pembelajaran behavioristik yang dikemukakan oleh Degeng dapat dilihat pada
table-tabel berikut.
Table 2
Pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang belajar dan
pembelajaran.
Konstruktivistik
|
Behavioristik
|
Pengtahuan
adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah dan tidak menentu.
|
Pengetahuan
adalah objektif, pasti, dan tetap , tidak berubah. Pengetahuan telah
terstruktur dengan rapi.
|
Belajar adalah
penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan
refleksi serta interpretasi. Mengajar adalah menata lingkungan agar si
belajar termotivasi dalam menggali makna seta menghargai ketidakmenentuan.
|
Belajar adalah
perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke
orang yang belajar.
|
Si belajar
akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada
pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.
|
Si belajar
akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan.
Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar itulah yang harus dipahami oleh si
belajar.
|
Mind berfungsi
sebagai alat untuk menginterpretasi peristiwa, objek, atau perspektif yang
ada dalam dunia nyata sehingga makna yang dihasilkan bersifat unik dan
individualistic.
|
Fungsi mind
adalah menjiplak struktur pengetahuan melalui proses berpikir yang dapat
dianalisis dan dipilah sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti
ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan.
|
Table 3
Pandangan Konstruktivistik dan Behavioristik tentang
Penataan Lingkungan Belajar
Konstruktivistik
|
Behavioristik
|
Ketidakteraturan,
ketidakpastian, kesemrawutan,
|
Keteraturan,
kepastian, ketertiban
|
Si belajar
harus bebas. Kebebasan menjadi unsure yang esensial dalam lingkungna belajar.
|
Si belajar
harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dahulu
secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial. Pembelajaran
lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin.
|
Kegagalan atau
keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dilihat sebagai interpretasi yang
berbeda yang perlu dihargai.
|
Kegagalan atau
ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan
yang perlu dihukum, dan keberhasilan atau kemampuan dikategorikan sebagai
bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.
|
Kebebasan
dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Si belajar adalah subjek yang
harus memapu menggunakan kebebasan untuk melakukan pengaturan diri dalam
belajar.
|
Ketaatan pada
aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Si belajar adalah
objek yang harus berperilaku sesuai dengan aturan.
|
Control
belajar dipegang oleh si belajar.
|
Control
belajar dipegang oleh system yang berada di luar diri si belajar.
|
Table 4
Pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang Tujuan Pembelajaran
Konstruktivistik
|
Behavioristik
|
Tujuan
pembelajaran ditekankan pada belajar bagaimana belajar (learn how to learn)
|
Tujuan belajar
ditekankan pada penambahan pengetahuan.
|
Tabe 5 pandangan
Konstruktivistik dan behavioristik tentang strategi pembelajaran
Konstruktivistik
|
Behavioristik
|
Penyejian isi
menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna mengikuti urutan dari
keseluruhan-ke-bagian.
Pembelajaran
lebih banyak diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau pandangan si belajar.
Aktivitas
belajar lebih banyak didasarkan pada data primer dan bahan manipulatif dengan
penekanan pada keterampilan berpikir kritis.
Pembelajaran
menekankan pada proses.
|
Penyajian isi
menekankan pada keterampilan yang terisolasi dan akumulasi fakta mengikuti
urutan dari bagian-ke-keseluruhan.
Pembelajaran
mengikuti urutan kurikulum secara ketat.
Aktivitas
belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks dengan penekanan pada
keterampilan mengungkapkan kembali isi buku teks.
Pembelajaran
menekankan pada hasil
|
Tabe 6 Pandangan
Konstruktivistik dan Behavioristik tentang evaluasi
Konstruktivistik
|
Behavioristik
|
Evaluasi
menekankan pada penyusunan makna secara aktif yang melibatkan keterampilan
terintegrasi, dengan menggunakan masalah dalam konsteks nyata.
Evaluasi yang
menggali munculnya berpikir divergent, pemecahan ganda, bukan hanya satu
jawaban benar
Evaluasi
merupakan bagian utuh dari belajar dengan cara memberikan tugas-tugas yang
menuntut aktivitas belajar yang bermkana serta menerapkan apa yang dipelajari
dalam konteks nyata. evaluasi menekankan pad aketerampilan proses dalam
kelompok.
|
Evaluasi
menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya
menggunakan ‘paper and pencil test’
Evaluasi yang
menuntu satu jawaban benar. Jawaban benar menunjukkan bahwa si-belajar telah
menyelesaikan tugas belajar.
Evaluasi
belajar dipandang sebagai bagian terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan
biasnaya dilakukan setelah kegiatan belajar dengan penekanan pada evaluasi
individual.
|
- Rancangan
Pembelajaran Konstruktivistik
Berdasarkan
teori J. Peaget dan Vygotsky yang telah
dikemukakan di atas maka pembelajaran dapat dirancang/didesain model
pembelajaran konstruktivis di kelas sebagai berikut:
Pertama, identifikasi prior
knowledge dan miskonsepsi. Identifikasi awal terhadap gagasan intuitif yang
mereka miliki terhadap lingkungannya dijaring untuk mengetahui
kemungkinan-kemungkinan akan munculnya miskonsepsi yang menghinggapi struktur
kognitif siswa. Identifikasi ini dilakukan dengan tes awal, interview
Kedua, penyusunan program pembelajaran. Program pembelajaran dijabarkan
dalam bentuk satuan pelajaran.
Ketiga orientasi dan elicitasi, situasi pembelajaran yang kondusif dan
mengasyikkan sangatlah perlu diciptakan pada awal-awal pembelajaran untuk
membangkitkan minat mereka terhadap topic yang akan dibahas. Siswa dituntun
agar mereka mau mengemukakan gagasan intuitifnya sebanyak mungkin tentang
gejala-gejala fisika yang mereka amati dalam lingkungan hidupnya sehari-hari.
Oengungkapan gagasan tersebut dapat memalui diskusi, menulis, ilustrasi gambar
dan sebagainya. Gagasan-gagasan tersebut kemudian dipertimbangkan bersama.
Suasana pembelajaran dibuat santai dan tidak menakutkan agar siswa tidak
khawatir dicemooh dan ditertawakan bila gagasan-gagasannya salah. Guru harus
menahan diri untuk tidak menghakiminya. Kebenaran akan gagasan siswa akan
terjawab dan terungkap dengan sendirinya melalui penalarannya dalam tahap
konflik kognitif.
Keempat, refleksi. Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang
bersifat miskonsepsi yang muncul pada tahap orientasi dan elicitasi
direflesikan dengan miskonsepsi yang telah dijaring pada tahap awal.
Miskonsepsi ini diklasifikasi berdasarkan tingkat kesalahan dan
kekonsistenannya untuk memudahkan merestrukturisasikannya.
Kelima, resrtukturisasi ide, (a) tantangan, siswa diberikan
pertanyaan-pertanyaan tentang gejala-gejala yang kemudian dapat diperagakan
atau diselidiki dalam praktikum. Mereka diminta untuk meramalkan hasil
percobaan dan memberikan alas an untuk
mendukung ramalannya itu. (b) konflik kognitif dan diskusi kelas. Siswa
akan daapt melihat sendiri apakah ramalan mereka benar atau salah. Mereka
didorong untuk menguji keyakinan dengan melakukan percobaan. Bila ramalan
mereka meleset, mereka akan mengalami konflik kognitif dan mulai tidak puas
dengan gagasan mereka. Kemudian mereka didorong untuk memikirkan penjelasan
paling sederhana yang dapat menerangkan sebanyak mungkin gejala yang telah
mereka lihat. Usaha untuk mencari penjelasan ini dilakukan dengan proses
konfrontasi melalui diskusi dengan teman atau guru yang pada kapasistasnya
sebagai fasilitator dan mediator. (c) membangun ulang kerangka konseptual.
Siswa dituntun untuk menemukan sendiri bahwa konsep-konsep yang baru itu
memiliki konsistensi internal. Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang baru itu
memiliki keunggulan dari gagasan yang lama.
Keenam, aplikasi. Menyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi
dari miskonsepsi menuju konsepsi ilmiah. Menganjurkan mereka untuk menerapkan
konsep ilmiahnya tersebut dalam berbagai macam situasi untuk memecahkan masalah
yang instruktif dan kemudia menguji penyelesaian secara empiris. Mereka akan
mampu membandingkan secara eksplisit miskonsepsi mereka dengan penjelasa secara
keilmuan.
Ketujuh, review dilakukan untuk meninjau keberhasilan strategi
pembelajaran yang telah berlangsung dalam upaya mereduksi miskonsepsi yang
muncul pada awal pembelajaran. Revisi terhadap strategi pembelajaran dilakukan
bila miskonsepsi yang muncul kembali bersifat sangar resisten. Hal ini penting
dilakukan agar miskonsepsi yang resisten tersebut tidak selamanya menghinggapi
struktur kognitif, yang pada akhirnya akan bermuara pada kesulitan belajar dan
rendahnya prestasi siswa bersangkutan.
5. Penutup
Berdasarkan uraian di atas maka untuk mengatasi beraneka ragam persoalan
dalam pembelajaran yang semakin rumit, maka pembelajaran behavioristik yang
selama ini telah digunakan selama bertahun-tahun, tampaknya tidak mampu lagi
menjawab semua persoalan pembelajaran, maka perlu mencari alternatif
pembelajaran yang lebih mampu mengatasi semua persoalan pembelajaran yang ada,
salah satunya adalah pendekatan konstruktivistik yang telah diuraikan.
Pendekatan ini menghargai perbedaan, menghargai keunikan invidu, menghargai
keberagaman dalam menerima dan memaknai pengetahuan.
Alkitab seringkali menyebutkan
berbagai cara Tuhan Yesus mengajar, ada khotbah di bukit, berdialog dengan para
ahli taurat di dalam bait Allah pada usia 12 tahun, berjalan bersama dua orang
murid ke Emaus, pada peristiwa perempuan yang melacurkan diri dan banyak lagi,
semua itu merupakan pembelajaran yang merupakan perwujudan dari pembelajaran
konstruktivistik. Pembelajaran yang membuat pebelajarnya membangun maknanya
sendiri, bukan mentranfer makna/pengetahuan.
(Dina Gasong, Mahasiswa Teknologi Pendidikan, PPs UNJ)
0 komentar:
Posting Komentar