Di undangkannya Undang-undang
No 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana menjadikan
system peradilan di Indonesia ini menganut system akusator, yaitu pembuktian
perkara pidana mengarah kepada pembuktian ilmiah, serta tersangka sebagai pihak
pemeriksaan tindak pidana, dan sytem peradilan juga terpengaruh oleh due proses model, yaitu: proses hukum yang
adil dan layak serta pengakuan hak-hak tersangka/terdakwa.
Akan tetapi
pelaksanaan peradilan pidana berdasarkan KUHAP ternyata masih belum berjalan
lancar, dan masih banyak kelemahan-kelemahan. Due proses model masih jauh dari
harapan bahkan pendekatan inkusator masih mendominasi.
Pendekatan
system peradilan pidana haruslah menyesuaikan dengan karakter masyarakat di
mana kejahatan itu terjadi, karena faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan
itu sangatlah komplek. Pada Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke-6 Tahun 1980
dalam pertimbangan resolusi mengenai crime trends and crime prevention
strategies menyatakan:
1. Bahwa masalah kejahatan merintangi
kemajuan untuk mencapai kualitas hidup yang pantas bagi semua orang.
2. Bahwa strategi pencegahan kejahatan
harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang
menimbulkan kejahatan.
3. Bahwa penyebab utama dari kejahatan di
banyak negara ialah: ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan diskriminasi
nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran dan kebutahurufan (kebodohan)
diantara golongan besar penduduk.
1. Pengertian Sistem Peradilan Pidana
Remington
dan Ohlin mengemukakan bahwa criminal justice sytem adalah pendekatan sistem
terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai
suatu sistem yang merupakan hasil dari interaksi antara peraturan perundang-undangan,
praktik administrasi dan sikap atau tingakh laku sosil. Mardjono memberikan
batasan pengertian sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat
untuk menaggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi disini diartikan sebagai
mengendalikan kejahtaan agar berada dalam batas-batas toleransi masyrakat[1].
2. System hukum secara garis besar dibagi
menjadi 2 yaitu:
system
hukum anglo saxon dan sistem continental. Dari kedua system tersebut mempunyai
perbedaan yang cukup besar pada pembangunan system peradilan pidanannya,
disebabkan akar falsafah dan politik yang melatar-belakanginya berbeda.
Kedua
system ini dibangun dalam semangat liberalisme namun pendekatan yang di ambil
berbeda. Sistem Anglosaxon memperlihatkan Individualisme dan desentralisme
dengan mengutamakan keadilan serta perlindungan hak-hak individu yang sangat
tinggi. Sedangan system continental bersandar pada prinsip keseragaman,
organisasi birokratik, sentralisasi serta menekankan pada pengembangan secara
hati-hati pada system hukum acara yang memadai, untuk dapat memastikan
fakta-fakta, agar keputusannya dapat di capai secara adil.
System
peradilan pidana dari keduanya itu mempunyai dasar berbeda dari fakta-faktanya,
jika Anglosaxon berdasarkan metode akuisitur dan eropa continental berdasarkan
metode inkuisitor.
Penerapan
dari kedua system dan berdasarkan dengan perbedaan metode itu berjalan dalam
waktu yang lama, mapan dan cocok terhadap masyarakat yang bersangkutan, jadi
akuisitur yang cocok di amerika belum tentu bisa diterapkan di Eropa, begitu
sebaliknya.
3. Teori-Teori system peradilan pidana
Dalam
system peradilan banyak berbagai teori yang berkaitan, ada yang menggunakan
pendekatan dikotomi ataupun pendekatan trikotomi.
Umumnya
pendekatan dikotomi digunakan oleh teoritis hukum pidana di Amerika Serikta,
yaitu Herbet Packer, seorang ahli hukum dari Universitas Stanford, dengan
pendektan normatif yang berorientasi pada nilai-nilai praktis dalam
melaksanakan mekanisme proses peradilan pidana.[2]
Di dalam
pendekatan dikotomi terdapat dua model,diantaranya:
1. Crime control model, pemberantasan
kejahatan merupakan fungsi terpenting dan harus diwujudkan dari suatu proses
peradilan pidana. Titik tekan dari model ini yaitu efktifitas, kecepatan dan
kepastian. Pembuktian kesalahan tersangka sudah diperoleh di dalam proses
pemeriksaan oleh petugas kepolisian.
Adapun
nilai-nilai yang melandasi crime control model adalah:
a. Tindakan reprensif terhadap suatu
tindakan criminal merupakan fungsi terpenting dari suatu proses peradilan;
b. Perhatian utama harus ditujukan kepada
efisiensi dari suatu penegakan hukum untuk menyeleksi tersangka, menetapkan
kesalahannya dan menjamin atau melindungi hak tersangka dalam proses peradilan;
c. Proses criminal penegakan hukum harus
dilaksanakan berlandaskan prinsip cepat dan tuntas, dan model yang dapat
mendukung proses penegakan hukum tersebut adalah model administratif dan
mmerupakan model manajerial;
d. Asas praduga bersalah akan menyebabkan
system ini dilaksanakan secara efisien;
e. Proses penegakan hukum harus menitik
beratkan kepada kualitas temuan-temuan fakta administrative, oleh karena temuan
tersebut akan membawa kearah:
1) Pembebasan seorang tersangka dari
penuntutan, atau
2) Kesediaan tersangka menyetakan dirinya
bersalah.
2. Due process model, model ini menakankan
seluruh temuan-temuan fakta dari suatu kasus yang diperoleh melalui prosedur
formal yang sudah ditetapkan oleh undang-undang. prosedur itu penting dan tidak
boleh diabaikan, melalui suatu tahapan pemeriksaan yang ketat mulai dari
penyidikan, penangkapan, penahanan dan peradilan serta adanya suatu reaksi
untuk setiap tahan pemeriksaan, maka dapat diharapkan seorang tersangka yang
nyata-nyata tidak bersalah akan dapat memperoleh kebebasan dari tuduhan
melakukan kejahatan.
Adapun
nilai-nilai yang terkandung di dalam model ini adalah
a. Mengutamakan, formal-adjudicative dan
adversary fact-findings, hal ini berart dalam setiap kasus tersangka harus
diajukan ke muka pengadilan yang tidak memihak dan diperiksa sesudah tersangka
memperoleh hak yang penuh utuk engajukan pembelaannya;
b. Menekankan pada pencegahan dan
menghapuskan sejauh mungkin kesalahan mekanisme administrasi peradilan;
c. Proses peradilan harus dikendalikan agar
dapat dicegah penggunaanya sampai pada titik optimum karena kekuasaan cenderung
disalahgunakan atau memilih potensi untukk menempatkan individu pada
kekuasaanya yang koersif dari Negara;
d. Memegang tegus doktrin legal audit,yaitu:
1) Seorang dianggap bersalah apabila
penetapan kesalahannya dialkukan secara procedural dan dilakukkan oleh mereka
yang memilik kewenangan untuk tugas itu;
2) Seseorang tidak dapat dianggap berslaah
sekalipun kenyataan akan memberatkan jika perlindungan hukum yang diberikan
undang-undang kepada orang yang bersangkutan tidak efektif. Penetapan kesalahn
seseorang hanya dapat dilakukan oleh pengadilan yang tidak memihak
e. Gagasan persamaan di muka hukum lebih
diutamakan
f. Lebih mengutamakan kesusilaan dan
keguanaan sanksi pidana.
Konsep due
process model, sangat menjunjung tinggi supremasi hukum, dalam perkara pidana
tidak ada seorang pun berada dan menempatkan diri di atas hukum.
A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana
A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana
Istilah Criminal Justice System atau Sistem
Peradilan Pidana (SPP) menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan
dengan mempergunakan dasar “pendekatan sistem”.
Menurut Remington dan Ohlin mengatakan :
Criminal
Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap
mekanisme administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem, peradilan pidana
merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik
administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri
mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional
dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala
keterbatasannya.
Hagan membedakan pengertian Criminal Justice
Process dan Criminal Justice System. Criminal Justice Process adalah setiap
tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seseorang tersangka ke dalam proses
yang membawanya pada penentuan pidana. Sedangkan Criminal Justice System adalah
interkoneksi antar keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses
peradilan pidana.
Menurut Mardjono Reksodipoetro, Sistem
Peradilan Pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari
lembaga-lembaga: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan
terpidana.
Sedangkan
tujuan Sistem Peradilan Pidana adalah :
a) Mencegah masyarakat menjadi korban
kejahatan.
b) Menyelesaikan kasus kejahatan yang
terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang
bersalah dipidana.
c) Mengusahakan agar mereka yang pernah
melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
Menurut Muladi, tujuan Sistem Peradilan
Pidana dapat dikategorikan sebagai berikut :
a) Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak
dicapai resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana.
b) Tujuan jangka menengah, apabila yang
hendak dicapai lebih luas yakni pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam
konteks politik kriminal (Criminal Policy).
c) Tujuan jangka panjang, apabila yang
hendak dicapai adalah kesejahteraan masyarakat (social welfare) dalam konteks politik
sosial (Social Policy).
Selanjutnya menurut Muladi, bahwa Sistem
Peradilan Pidana, sesuai dengan makna dan ruang lingkup sistem dapat bersifat
phisik dalam arti sinkronisasi struktural (Struktural syncronization), dapat
pula bersifat substansial (substancial syncronization) dan dapat pula bersifat
kultural (cultural syncronization). Dalam hal sinkronisasi struktural
keserempakan dan keselarasan dituntut dalam mekanisme administrasi peradilan
pidana dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum. Dalam hal
sinkronisasi substansial maka keserempakan ini mengandung makna baik vertikal
maupun horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku. Sedang
sinkronisasi kultural mengandung usaha untuk selalu serempak dalam menghayati
pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari
jalannya Sistem Peradilan Pidana.
Bertitik tolak dari tujuan Sistem Peradilan
Pidana, Mardjono mengemukakan empat komponen Sistem Peradilan Pidana
(Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) diharapkan dapat
bekerjasama dan dapat membentuk suatu Integrated Criminal Justice System.
Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, diperkirakan akan
terdapat tiga kerugian yaitu :
a) Kesukaran dalam menilai sendiri
keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi sehubungan dengan tugas
mereka bersama.
b) Kesulitan dalam memecahkan sendiri
masalah-masalah pokok di setiap instansi (sebagai subsistem dari Sistem
Peradilan Pidana).
c) Dikarenakan tanggung jawab setiap
instansi sering kurang jelas terbagi maka setiap instansi tidak terlalu
memperhatikan efektivitas menyeluruh dari Sistem Peradilan Pidana.
Menurut Muladi, Sistem Peradilan Pidana
merupakan jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil,
hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Secara sederhana Sistem
Peradilan Pidana dapat dipahami sebagai suatu usaha untuk menjawab pertanyaan
apa tugas hukum pidana di masyarakat dan bukan sekedar bagaimana hukum pidana
di dalam Undang-Undang dan bagaimana Hakim menerapkannya.
Sistem
Peradilan Pidana Indonesia berlangsung melalui tiga komponen dasar sistem.
1. Susbtansi.
Merupakan hasil atau produk sistem termasuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981.
2. Struktur.
Yaitu lembaga-lembaga dalam sistem hukum yang
terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan
dan Lembaga Pemasyarakatan.
3. Kultur.
Yaitu
bagaimana sebetulnya sistem tersebut akan diberdayakan. Dengan kata lain kultur
adalah merupakan penggerak dari Sistem Peradilan Pidana.
Berbagai pandangan mengenai Sistem Peradilan
Pidana di atas memiliki dimensi yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda
pula. Sistem Peradilan Pidana merupakan konstruksi (sosial) yang menunjukkan
proses interaksi manusia (di dalamnya terdapat aparatur hukum, pengacara dan
terdakwa, serta masyarakat) yang saling berkaitan dalam membangun dunia
(realitas) yang mereka ciptakan.
Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem
pada dasarnya merupakan suatu open system, dalam pengertian Sistem Peradilan
Pidana dalam geraknya akan selalu mengalami interface (interaksi, interkoneksi
dan interdependensi) dengan lingkungannya dalam peringkat-peringkat masyarakat
: ekonomi, politik, pendidikan dan teknologi serta sub sistem sub sistem dari
Sistem Peradilan Pidana itu sendiri (subsystem of criminal justice system )
B. Manfaat
Sistem Peradilan Pidana
Sistem Peradilan Pidana bila diterapkan secara
konsisten, konsekwen dan terpadu antara sub sistem, maka manfaat sistem
peradilan pidana selain dapat mewujudkan tujuan Sistem Peradilan Pidana juga
bermanfaat untuk :
a) Menghasilkan data statistik kriminal
secara terpusat melalui satu pintu yaitu Polisi. Dengan data statistik kriminil
tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sarana dalam menyusun kebijakan kriminil
secara terpadu untuk penanggulangan kejahatan.
b) Mengetahui keberhasilan dan kegagalan sub
sistem secara terpadu dalam penanggulangan kejahatan.
c) Kedua butir 1 dan 2 tersebut dapat
dijadikan bahan masukan bagi pemerintah dalam kebijakan sosial.
d) Memberikan jaminan kepastian hukum baik
kepada individu maupun masyarakat.
C.
Mekanisme Sistem Peradilan Pidana
Sistem ini mulai bekerja pada saat adanya
laporan adanya tindak pidana dari masyarakat, setelah itu Polisi melakukan
penangkapan, seleksi, penyelidikan, penyidikan dan membuat Berita Acara
Pemeriksaan. Para pelaku yang bersalah diteruskan kepada Kejaksaan, sedangkan yang
tidak bersalah dikembalikan kepada masyarakat. Kemudian Jaksa mengadakan
seleksi lagi terhadap pelaku dan mengadakan penuntutan dan membuat surat
tuduhan. Para pelaku yang tidak bersalah dibebaskan, sedang yang bersalah
diajukan ke Pengadilan. Dalam hal inipun pengadilan juga melakukan hal yang
sama, artinya yang tidak terbukti bersalah dibebaskan, sedang yang terbukti
melakukan tindak pidana diserahkan ke Lembaga Pemasyarakatan sebagai instansi
terakhir yang melakukan pembinaan terhadap narapidana. Namun tidak dapat
dipungkiri bahwa secara jelas dengan indikator banyaknya residivis telah
menunjukkan kegaglan dari LP itu sendiri, segagalan i9ni bukan hanya oleh LP
akan tetapi perlu dicermati ada apa dengan Sistem Peradilan Pidana Itu?
Di dalam Sistem Peradilan Pidana terdapat
adanya suatu input-process-output. Adapun yang dimaksud dengan input adalah
laporan/pengaduan tentang terjadinya tindak pidana. Process adalah sebagai
tindakan yang diambil pihak Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.
Sedangkan output adalah hasil-hasil yang diperoleh.
Sebagai suatu sistem maka di dalam
mekanismenya adanya suatu syarat yang harus dipenuhi yaitu adanya kerjasama di
antara sub sistem. Apabila salah satu sub sistem tidak berjalan sebagaimana mestinya,
maka hal itu akan mengganggu sistem secara keseluruhan. Oleh karena itu,
keempat sub sistem itu memiliki hubungan yang erat satu dengan yang lainnya.
D. Teori
Pemidanaan
Menurut
Satochid Kartanegara dan pendapat-pendapat para ahli hukum terkemuka dalam
hukum pidana, mengemukakan teori pemidanaan atau penghukuman dalam hukum pidana
dikenal ada tiga aliran yaitu:
a. Absolute atau vergeldings theorieen
(vergelden/imbalan)
Aliran ini
mengajarkan dasar daripada pemidanaan harus dicari pada kejahatan itu sendiri
untuk menunjukkan kejahatan itu sebagai dasar hubungan yang dianggap sebagai
pembalasan, imbalan (velgelding) terhadap orang yang melakukan perbuatan jahat.
Oleh karena kejahatan itu menimbulkan penderitaan bagi si korban.
b. Relative atau doel theorieen (doel/maksud,
tujuan)
Dalam
ajaran ini yang dianggap sebagai dasar hukum dari pemidanaan adalah bukan
velgelding, akan tetapi tujuan (doel) dari pidana itu. Jadi aliran ini
menyandarkan hukuman pada maksud dan tujuan pemidanaan itu, artinya teori ini
mencari mamfaat daripada pemidanaan (nut van de straf)
c. Vereningings theorieen (teori gabungan)
Teori ini
sebagai reaksi dari teori sebelumnnya yang kurang dapat memuaskan menjawab
mengenai hakikat dari tujuan pemidanaan. Menurut ajaran teori ini dasar hukum
dari pemidanaan adalah terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan
atau siksaan, akan tetapi di samping itu diakuinya pula sebagai dasar
pemidanaan itu adalah tujuan daripada hukum.
0 komentar:
Posting Komentar