Kamis, 20 November 2014

0 SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA


                Di undangkannya Undang-undang No 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana menjadikan system peradilan di Indonesia ini menganut system akusator, yaitu pembuktian perkara pidana mengarah kepada pembuktian ilmiah, serta tersangka sebagai pihak pemeriksaan tindak pidana, dan sytem peradilan juga terpengaruh oleh  due proses model, yaitu: proses hukum yang adil dan layak serta pengakuan hak-hak tersangka/terdakwa.
Akan tetapi pelaksanaan peradilan pidana berdasarkan KUHAP ternyata masih belum berjalan lancar, dan masih banyak kelemahan-kelemahan. Due proses model masih jauh dari harapan bahkan pendekatan inkusator masih mendominasi.
Pendekatan system peradilan pidana haruslah menyesuaikan dengan karakter masyarakat di mana kejahatan itu terjadi, karena faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan itu sangatlah komplek. Pada Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke-6 Tahun 1980 dalam pertimbangan resolusi mengenai crime trends and crime prevention strategies menyatakan:
1.       Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk mencapai kualitas hidup yang pantas bagi semua orang.
2.       Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan.
3.       Bahwa penyebab utama dari kejahatan di banyak negara ialah: ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan diskriminasi nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran dan kebutahurufan (kebodohan) diantara golongan besar penduduk.
1.       Pengertian Sistem Peradilan Pidana
Remington dan Ohlin mengemukakan bahwa criminal justice sytem adalah pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem yang merupakan hasil dari interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingakh laku sosil. Mardjono memberikan batasan pengertian sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menaggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi disini diartikan sebagai mengendalikan kejahtaan agar berada dalam batas-batas toleransi masyrakat[1].
2.       System hukum secara garis besar dibagi menjadi 2 yaitu:
system hukum anglo saxon dan sistem continental. Dari kedua system tersebut mempunyai perbedaan yang cukup besar pada pembangunan system peradilan pidanannya, disebabkan akar falsafah dan politik yang melatar-belakanginya berbeda.
Kedua system ini dibangun dalam semangat liberalisme namun pendekatan yang di ambil berbeda. Sistem Anglosaxon memperlihatkan Individualisme dan desentralisme dengan mengutamakan keadilan serta perlindungan hak-hak individu yang sangat tinggi. Sedangan system continental bersandar pada prinsip keseragaman, organisasi birokratik, sentralisasi serta menekankan pada pengembangan secara hati-hati pada system hukum acara yang memadai, untuk dapat memastikan fakta-fakta, agar keputusannya dapat di capai secara adil.
System peradilan pidana dari keduanya itu mempunyai dasar berbeda dari fakta-faktanya, jika Anglosaxon berdasarkan metode akuisitur dan eropa continental berdasarkan metode inkuisitor.
Penerapan dari kedua system dan berdasarkan dengan perbedaan metode itu berjalan dalam waktu yang lama, mapan dan cocok terhadap masyarakat yang bersangkutan, jadi akuisitur yang cocok di amerika belum tentu bisa diterapkan di Eropa, begitu sebaliknya.
3.       Teori-Teori system peradilan pidana
Dalam system peradilan banyak berbagai teori yang berkaitan, ada yang menggunakan pendekatan dikotomi ataupun pendekatan trikotomi.
Umumnya pendekatan dikotomi digunakan oleh teoritis hukum pidana di Amerika Serikta, yaitu Herbet Packer, seorang ahli hukum dari Universitas Stanford, dengan pendektan normatif yang berorientasi pada nilai-nilai praktis dalam melaksanakan mekanisme proses peradilan pidana.[2]
Di dalam pendekatan dikotomi terdapat dua model,diantaranya:
1.       Crime control model, pemberantasan kejahatan merupakan fungsi terpenting dan harus diwujudkan dari suatu proses peradilan pidana. Titik tekan dari model ini yaitu efktifitas, kecepatan dan kepastian. Pembuktian kesalahan tersangka sudah diperoleh di dalam proses pemeriksaan oleh petugas kepolisian.
Adapun nilai-nilai yang melandasi crime control model adalah:
a.       Tindakan reprensif terhadap suatu tindakan criminal merupakan fungsi terpenting dari suatu proses peradilan;
b.      Perhatian utama harus ditujukan kepada efisiensi dari suatu penegakan hukum untuk menyeleksi tersangka, menetapkan kesalahannya dan menjamin atau melindungi hak tersangka dalam proses peradilan;
c.       Proses criminal penegakan hukum harus dilaksanakan berlandaskan prinsip cepat dan tuntas, dan model yang dapat mendukung proses penegakan hukum tersebut adalah model administratif dan mmerupakan model manajerial;
d.      Asas praduga bersalah akan menyebabkan system ini dilaksanakan secara efisien;
e.      Proses penegakan hukum harus menitik beratkan kepada kualitas temuan-temuan fakta administrative, oleh karena temuan tersebut akan membawa kearah:
1)      Pembebasan seorang tersangka dari penuntutan, atau
2)      Kesediaan tersangka menyetakan dirinya bersalah.
2.       Due process model, model ini menakankan seluruh temuan-temuan fakta dari suatu kasus yang diperoleh melalui prosedur formal yang sudah ditetapkan oleh undang-undang. prosedur itu penting dan tidak boleh diabaikan, melalui suatu tahapan pemeriksaan yang ketat mulai dari penyidikan, penangkapan, penahanan dan peradilan serta adanya suatu reaksi untuk setiap tahan pemeriksaan, maka dapat diharapkan seorang tersangka yang nyata-nyata tidak bersalah akan dapat memperoleh kebebasan dari tuduhan melakukan kejahatan.
Adapun nilai-nilai yang terkandung di dalam model ini adalah
a.       Mengutamakan, formal-adjudicative dan adversary fact-findings, hal ini berart dalam setiap kasus tersangka harus diajukan ke muka pengadilan yang tidak memihak dan diperiksa sesudah tersangka memperoleh hak yang penuh utuk engajukan pembelaannya;
b.      Menekankan pada pencegahan dan menghapuskan sejauh mungkin kesalahan mekanisme administrasi peradilan;
c.       Proses peradilan harus dikendalikan agar dapat dicegah penggunaanya sampai pada titik optimum karena kekuasaan cenderung disalahgunakan atau memilih potensi untukk menempatkan individu pada kekuasaanya yang koersif dari Negara;
d.      Memegang tegus doktrin legal audit,yaitu:
1)      Seorang dianggap bersalah apabila penetapan kesalahannya dialkukan secara procedural dan dilakukkan oleh mereka yang memilik kewenangan untuk tugas itu;
2)      Seseorang tidak dapat dianggap berslaah sekalipun kenyataan akan memberatkan jika perlindungan hukum yang diberikan undang-undang kepada orang yang bersangkutan tidak efektif. Penetapan kesalahn seseorang hanya dapat dilakukan oleh pengadilan yang tidak memihak
e.      Gagasan persamaan di muka hukum lebih diutamakan
f.        Lebih mengutamakan kesusilaan dan keguanaan sanksi pidana.
Konsep due process model, sangat menjunjung tinggi supremasi hukum, dalam perkara pidana tidak ada seorang pun berada dan menempatkan diri di atas hukum.


A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana
   Istilah Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana (SPP) menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar “pendekatan sistem”.
   Menurut Remington dan Ohlin mengatakan :
Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem, peradilan pidana merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.
   Hagan membedakan pengertian Criminal Justice Process dan Criminal Justice System. Criminal Justice Process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seseorang tersangka ke dalam proses yang membawanya pada penentuan pidana. Sedangkan Criminal Justice System adalah interkoneksi antar keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.
   Menurut Mardjono Reksodipoetro, Sistem Peradilan Pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan terpidana.

Sedangkan tujuan Sistem Peradilan Pidana adalah :
a)      Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
b)      Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
c)      Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
   Menurut Muladi, tujuan Sistem Peradilan Pidana dapat dikategorikan sebagai berikut :
a)      Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak dicapai resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana.
b)      Tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dicapai lebih luas yakni pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam konteks politik kriminal (Criminal Policy).
c)      Tujuan jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah kesejahteraan masyarakat (social welfare) dalam konteks politik sosial (Social Policy).
   Selanjutnya menurut Muladi, bahwa Sistem Peradilan Pidana, sesuai dengan makna dan ruang lingkup sistem dapat bersifat phisik dalam arti sinkronisasi struktural (Struktural syncronization), dapat pula bersifat substansial (substancial syncronization) dan dapat pula bersifat kultural (cultural syncronization). Dalam hal sinkronisasi struktural keserempakan dan keselarasan dituntut dalam mekanisme administrasi peradilan pidana dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum. Dalam hal sinkronisasi substansial maka keserempakan ini mengandung makna baik vertikal maupun horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku. Sedang sinkronisasi kultural mengandung usaha untuk selalu serempak dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya Sistem Peradilan Pidana.
   Bertitik tolak dari tujuan Sistem Peradilan Pidana, Mardjono mengemukakan empat komponen Sistem Peradilan Pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) diharapkan dapat bekerjasama dan dapat membentuk suatu Integrated Criminal Justice System. Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, diperkirakan akan terdapat tiga kerugian yaitu :
a)      Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi sehubungan dengan tugas mereka bersama.
b)      Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok di setiap instansi (sebagai subsistem dari Sistem Peradilan Pidana).
c)      Dikarenakan tanggung jawab setiap instansi sering kurang jelas terbagi maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari Sistem Peradilan Pidana.
   Menurut Muladi, Sistem Peradilan Pidana merupakan jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Secara sederhana Sistem Peradilan Pidana dapat dipahami sebagai suatu usaha untuk menjawab pertanyaan apa tugas hukum pidana di masyarakat dan bukan sekedar bagaimana hukum pidana di dalam Undang-Undang dan bagaimana Hakim menerapkannya.
Sistem Peradilan Pidana Indonesia berlangsung melalui tiga komponen dasar sistem.
1.   Susbtansi.
   Merupakan hasil atau produk sistem termasuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.
2.   Struktur.
  Yaitu lembaga-lembaga dalam sistem hukum yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan  dan Lembaga Pemasyarakatan.
3.  Kultur.
Yaitu bagaimana sebetulnya sistem tersebut akan diberdayakan. Dengan kata lain kultur adalah merupakan penggerak dari Sistem Peradilan Pidana.
   Berbagai pandangan mengenai Sistem Peradilan Pidana di atas memiliki dimensi yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Sistem Peradilan Pidana merupakan konstruksi (sosial) yang menunjukkan proses interaksi manusia (di dalamnya terdapat aparatur hukum, pengacara dan terdakwa, serta masyarakat) yang saling berkaitan dalam membangun dunia (realitas) yang mereka ciptakan.
   Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya merupakan suatu open system, dalam pengertian Sistem Peradilan Pidana dalam geraknya akan selalu mengalami interface (interaksi, interkoneksi dan interdependensi) dengan lingkungannya dalam peringkat-peringkat masyarakat : ekonomi, politik, pendidikan dan teknologi serta sub sistem sub sistem dari Sistem Peradilan Pidana itu sendiri (subsystem of criminal justice system )

B. Manfaat Sistem Peradilan Pidana
   Sistem Peradilan Pidana bila diterapkan secara konsisten, konsekwen dan terpadu antara sub sistem, maka manfaat sistem peradilan pidana selain dapat mewujudkan tujuan Sistem Peradilan Pidana juga bermanfaat untuk :
a)      Menghasilkan data statistik kriminal secara terpusat melalui satu pintu yaitu Polisi. Dengan data statistik kriminil tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sarana dalam menyusun kebijakan kriminil secara terpadu untuk penanggulangan kejahatan.
b)      Mengetahui keberhasilan dan kegagalan sub sistem secara terpadu dalam penanggulangan kejahatan.
c)      Kedua butir 1 dan 2 tersebut dapat dijadikan bahan masukan bagi pemerintah dalam kebijakan sosial.
d)     Memberikan jaminan kepastian hukum baik kepada individu maupun masyarakat.

C. Mekanisme Sistem Peradilan Pidana
   Sistem ini mulai bekerja pada saat adanya laporan adanya tindak pidana dari masyarakat, setelah itu Polisi melakukan penangkapan, seleksi, penyelidikan, penyidikan dan membuat Berita Acara Pemeriksaan. Para pelaku yang bersalah diteruskan kepada Kejaksaan, sedangkan yang tidak bersalah dikembalikan kepada masyarakat. Kemudian Jaksa mengadakan seleksi lagi terhadap pelaku dan mengadakan penuntutan dan membuat surat tuduhan. Para pelaku yang tidak bersalah dibebaskan, sedang yang bersalah diajukan ke Pengadilan. Dalam hal inipun pengadilan juga melakukan hal yang sama, artinya yang tidak terbukti bersalah dibebaskan, sedang yang terbukti melakukan tindak pidana diserahkan ke Lembaga Pemasyarakatan sebagai instansi terakhir yang melakukan pembinaan terhadap narapidana. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa secara jelas dengan indikator banyaknya residivis telah menunjukkan kegaglan dari LP itu sendiri, segagalan i9ni bukan hanya oleh LP akan tetapi perlu dicermati ada apa dengan Sistem Peradilan Pidana Itu?
   Di dalam Sistem Peradilan Pidana terdapat adanya suatu input-process-output. Adapun yang dimaksud dengan input adalah laporan/pengaduan tentang terjadinya tindak pidana. Process adalah sebagai tindakan yang diambil pihak Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Sedangkan output adalah hasil-hasil yang diperoleh.
   Sebagai suatu sistem maka di dalam mekanismenya adanya suatu syarat yang harus dipenuhi yaitu adanya kerjasama di antara sub sistem. Apabila salah satu sub sistem tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka hal itu akan mengganggu sistem secara keseluruhan. Oleh karena itu, keempat sub sistem itu memiliki hubungan yang erat satu dengan yang lainnya.

D. Teori Pemidanaan
Menurut Satochid Kartanegara dan pendapat-pendapat para ahli hukum terkemuka dalam hukum pidana, mengemukakan teori pemidanaan atau penghukuman dalam hukum pidana dikenal ada tiga aliran yaitu:
a.  Absolute atau vergeldings theorieen (vergelden/imbalan)
Aliran ini mengajarkan dasar daripada pemidanaan harus dicari pada kejahatan itu sendiri untuk menunjukkan kejahatan itu sebagai dasar hubungan yang dianggap sebagai pembalasan, imbalan (velgelding) terhadap orang yang melakukan perbuatan jahat. Oleh karena kejahatan itu menimbulkan penderitaan bagi si korban.

b.  Relative atau doel theorieen (doel/maksud, tujuan)
Dalam ajaran ini yang dianggap sebagai dasar hukum dari pemidanaan adalah bukan velgelding, akan tetapi tujuan (doel) dari pidana itu. Jadi aliran ini menyandarkan hukuman pada maksud dan tujuan pemidanaan itu, artinya teori ini mencari mamfaat daripada pemidanaan (nut van de straf)

c.  Vereningings theorieen (teori gabungan)
Teori ini sebagai reaksi dari teori sebelumnnya yang kurang dapat memuaskan menjawab mengenai hakikat dari tujuan pemidanaan. Menurut ajaran teori ini dasar hukum dari pemidanaan adalah terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan tetapi di samping itu diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan itu adalah tujuan daripada hukum.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Nikychoy Synyster Blog Copyright © 2011 - |- Template created by Niky Choy