Logika On-Off Fiqh
Islam
Oleh: IswahyudiMengembangkan fiqh berbasis etis. Itulah kayaknya yang ingin diutarakan oleh penulis artikel tersebut, walaupun ditulis dengan judul �mengembangkan fiqh etika�. Rumusan judul tersebut mengesankan maksud penulis bahwa etika perlu diberi perspektif normatif sehingga etika yang diasumsikan tidak memiliki fiqh dapat ditepis. Seperti halnya hubungan lintas agama yang perlu mendapat justifikasi normatif sehingga muncul fiqh lintas agama.
Karena etika secara epistemologis berbicara tentang pantas-tidak pantas serta baik dan tidak baik dalam sebuah tindakan, maka etika seringkali diklasifikasi menjadi: etika individual-etika sosial, etika kultural dan etika keagamaan serta etika politik dan kenegaraan. Akan tetapi diskursus etika akan mengalami kesulitan ketika mainstream berfikir kita masih menempatkan etika itu secara kontradiktif. Sebagai misal, etika teleologis Aristoteles menjelaskan setiap tindakan beretika, jika ia bertujuan untuk mencapai virtues. Sebaliknaya, Immanuel Kant, melalui etika deontologis menyatakan tindakan yang beretika adalah tindakan bukan karena sesuatu, tindakan itu haruslah imperatif kategoris, tidak bertujuan tetapi demi tindakan itu sendiri atau demi kewajiban itu sendiri yang dikonstitusi oleh maksim. Sedangkan al-Ghazali merumuskan etika tindakan harus murni karena Allah dan kepasrahan pada tindakan Tuhan.
Perspektif etis dalam fiqh tentu melampaui kontradiksi itu menuju visi etika al-Qur�an yang holistik dalam memanusiakan manusia, baik dari sisi sosial, ekonomi maupun budaya. Seperti kasus pengharaman Ajino Moto beberapa tahun lalu yang berimbas penuntutan pembubaran perusahaan di Mojokerto Jawa Timur. Gus Dur �ngengkel� menolak pembubaran sekaligus menentang fatwa haram MUI. Bagi saya, Gus Dur dengan tindakannya itu sedang berfikir fiqh berbasis etika. Dengan ditutupnya perusahaan akan mengakibatkan pengangguran besar, nasib anak karyawan yang masih sekolah atau bahkan kriminalitas akibat shock pasca pembubaran. Menolak kerusakan (mafaasid) akibat penutupan pabrik lebih diutamakan dari menarik kebaikan (mashalih) menutup pabrik.
Etika al-Qur�an berbasis kemanusiaan itu pernah ditunjukkan oleh Rasulullah -bukankah akhlak Rasulullah adalah al-Qur�an-- ketika ada seorang sahabat mengaku berzina dan meminta hukum dari beliau. Respon Rasul saat itu sangat keras �orang itu gila�. Ujar Rasul. Atau dalam kasus lain Umar Bin Khattab tidak serta merta memotong tangan pencuri karena masa itu adalah masa paceklik. Umar sadar bahwa tindakannya menyalahi tektualitas al-Qur�an tetapi umar juga mengerti visi etis al-Qur�an harus lebih diutamakan dalam kasus tersebut.
Problem serius yang terdapat dalam fiqh klasik adalah terabaikannya nuansa visi etis bagi pelaku hukum seperti di jaman Rasul dan sahabat. Fiqh klasik dikonstruksi penuh kekakuan dan tidak kenal konpromi. Logika yang mendasari nuansa fiqh klasik adalah logika deduktif, yaitu sebua logika yang berjalan patuh dan taat pada bunyi teks tanpa melihat latar kultural dan inplikasi yang akan ditimbulkan. Inilah yang saya sebut dengan logika on-off, menempatkan sesuatu pada dua posisi kontradiksi radikal. Iya atau tidak, halal atau haram dan kafir atau iman adalah contoh logika on-off ini. Tidak ada ruang negosiasi sebab maupun pridiksi akibat secara sosial, psikologis maupun budaya. Dalam contoh kasus Umar misalnya jika logika on-off yang digunakan, maka Umar serta merta harus memotong tangan pencuri tersebut.
Logika demikian adalah logika mesin yang bergerak di atas perintah, membabat habis objek yang diperintahkan. Mesin tidak mengenal negosiasi maupun pridiksi akibat. Mesin bukanlah manusia, menempatkan manusia dengan logika mesin sejatinya melecehkan manusia. Visi etis al-Qur�an yang melandasi seluruh bangunan pemikiran Islam, termasuk fiqh, bukanlah meletakkan manusia laksana mesin tetapi memposisikan manusia sebagai manusia.
Ushul fiqh yang mengkonstitusi pemikiran fiqh klasik adalah salah satu faktor determinan membentuk fiqh kurang bervisi etis. Ushul fiqh yang dibangun secara sistematis oleh al-Syafi�i dan banyak diikuti oleh kelompok terbesar Islam, Mazhab sunni, dikonstruksi atas nalar deduktif ini, dalam panggung sejarah telah menggurita tak terbendung mulai abad 2 H sampai sekarang. Hanya saja pada abad 7 H, al-Syathibi �mendobrak� kelesuan metodologi fiqh tersebut setelah selama 5 abad kurang menjawab lajunya persoalan umat, dengan menawarkan konsep yang dikenal dengan maqashid al-Syari�ah dengan kulliyatu al-khamsahnya. Walaupun sebenarnya Abu Hanifah telah memperkenalkan logika terbalik dengan al-Syafi�i melalui logika induktif berdasar konteks dan realitas, tetap saja tidak mampu menghadang laju logika on-off al-Syafi�i. Mengomentari logika demikian, pantas saja, Nasr Hamid Abu Zayd mengatakan al-Syafi�i bersama pengikutnya al-Asy�ari dan al-Ghazali adalah trilogi penghancur nalar dalam Islam. Serta menggugat klaim nashirussunnah buat al-Syafi�i. Menurutnya nashirussunnah lebih layak untuk disematkan pada Abu Hanifah. Contoh pemikiran Abu Hanifah yang bervisi etis adalah seperti pendapatnya tentang tidak perlu wali dalam nikah walau bunyi teks (la nikaha illa biwaliyyin wa sahidai adlin) berbeda dengan pendapatnya. Bagi Abu Hanifah, wali hanyalah visi etis ketika calon pengantin tidak saling mengenal, sehingga posisi wali hanyalah mediator antara calon pengantin putri dengan pengantin putra. Posisi mediator menjadi tidak penting ketika kedua calon telah mengenal atau bahkan telah menjalani proses pacaran yang lama.
Tetapi saksi, yang menyimpan misi etika sosial, di mana seseorang haruslah mendapat legitimasi kultural, ketika akan hidup bersama lawan jenis dalam lingkungan tertentu. Etika sosial penting agar tidak timbul fitnah dalam masyarakat. Dan karena alasan inilah Abu Hanifah mensyaratkan saksi sementara wali tidak.
Tetapi dengan mengandalkan ushul fiqh Abu Hanifah, kebekuan ushul fiqh dapat diatasi? Belum, As-Syathibi dengan konsep maqashid al-syari�ah di abad setelahnya, abad 8 H. menjelaskan bahwa baik al-Syafi�i maupun Abu Hanifah masih terjebak pada literalisme teks dan kurang menyentuh aspek paling dalam sebuah teks. As-Syathibi melengkapi teori ushul fiqh klasik tersebut dalam al-muwafaqot merumuskan maqashid al-syari�ah yang berpijak pada kulliyatu al-khamsi.
Teori al-Syathibi inilah yang menjadi andalan penulis arrtikel �mengembangkan fiqh etika� yang saya komentari saat ini, bahkan berkeinginan menjadikannya sebagai sentral ushul fiqh. Pertanyaannya adalah apakah metode al-Syathibi juga mampu menjawab kebekuan fiqh?
Meminjam analisa pemikir-pemikir kontemporer seperti M. Iqbal dalam the reconstruction of religious thought, M.Taha dalam the second message of Islam, Abdullah Ahmed An-Na�im dalam toward an Islamic reformation, Al-Asy�mawi dalam Ushul al-syari�ah dan Syahrur dalam al-kitab wa al-Qur�an ternyata metode Al-Syathibi belum menjawab.
As-Syathibi memang berhasil menjelaskan persoalan literalisme teks tetapi belum menyelesaikan problem kontemporer bervisi etis dalam konteks pluralisme agama. Untuk satu mazhab, Al-Syathibi mampu merubah nalar literal menjadi kontekstual dan ini tidak menimbulkan masalah. Tetapi ketika maqashidu al-syari�ah dihadapkan pada lain mazhab atau hubungn beda agama, konsep tersebut mengalami krisis. Contoh terang misalnya, bagaimana menghadapi kelompok fundamentalis yang atas nama hifdu al-din dan hifdu al-�aql dalam perspektif mereka sendiri berhadapan dengan hifdu al-din dan hifdu al-�aql perspektif kelompok lain. Kepentingan umum (mashlahatu al-mursalah) apa yang yang bisa dijadikan pedoman untuk menentukan perbedaan tersebut. Bukankah atas nama al-hifdu itu mereka akan berasumsi bahwa mereka �mati syahid� bila gugur. Asumsi demikian sungguh tidak produktif untuk hidup dalam keberagaman sebagai sunnatullah yang terberi buat manusia.
Atas alasan seperti ini, pemikir ushul fiqh terpenting abad ini, Wael B hallaq, menjelaskan bahwa al-Syathibi sebenarnya belum keluar dari kungkungan teks. Wael lebih lanjut menawarkan metodologi ushul fiqh yang diakuinya kurang memiliki koherensi pemikiran ushul dengan kelompok ushuliyyin klasik, tetapi menjanjikan -paling tidak untuk saat ini-menjelaskan problem-problem kontemporer. Sosok pemikir tersebut adalah seperti M. Syahrur.
Syahrur merumuskan gagasan ushul fiqh secara gestald switch dengan teori yang mendahuluinya. Teori itu disebutnya dengan nazariyatu al-hudud (teori batas). Melaui teori ini, Syahrur melandaskan pengambilan hukum laksana bermain bola yang bebas bergerak ke kanan-ke kiri, ke depan-ke belakang selama tidak keluar dari garis lapangan. Sementara fiqh klasik hanya bermain di ruang sempit pada garis lapangan an sich. Dengan pengabsah ayat al-Qur�an surat an-Nisa� ayat 14, Syahrur memformulasi metode pengambilan hukum pada enam teori batas. Yaitu: teori batas minimal, teori batas maksimal, teori batas maksimal-minimal bersama, teori batas lurus, teori batas maksimal cenderung mendekat tanpa bersentuhan dan teori batas maksimal positif dan batas minimal negatif.
Syahrur melalui teorinya itu, menawarkan sebuah metodologi pengambilan hukum yang tidak kaku bahkan menetang logika on-off deduktif hukum. Seperti harta waris laki-laki dan perempuan yang boleh dibagi sama rata antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan etika al-Qur�an perdamaian dan ketentraman.
Memang pemikir-pemikir ushul sebelum Syahrur telah menawarkan konsep metodologi yang cenderung sama, tetapi kelebihan Syahrur dibanding mereka adalah posisinya menyusun konsep metodologi yang agak holistik kaitannya dengan problem kontemporer.
Tulisan ini tentu tidak akan mengelaborasi enam teori batas itu beserta contoh detailnya disamping ruang yang tidak memungkinkan tetapi juga karena pembaca dapat merujuk kitab asli karangan Syahrur.
Walau Syahrur menuai kritik menggunung serta masih terjerembab pada kubangan teks. Paling tidak ia mampu bermain cantik di atas teks itu dengan mengkomunikasikan secara apik antara teks-interteks-konteks, bahasa-pemikiran-sejarah dan teks-pengarang-pembaca.