Pengertian Pembuktian/membuktikan
“Membuktikan” menurut Prof. Dr. Sudikno
Mertokusumo, S.H., guru besar FH-UGM mengandung
beberapa pengertian:
a) Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah
Membuktikan
berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap orang
dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
b) Membuktikan dalam arti konvensionil
Membuktikan
berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya yang
mempunyai tingkatan-tingkatan:
- kepastian yang didasarkan atas perasaan
belaka/bersifat instuitif (conviction intime)
- kepastian yang didasarkan atas pertimbangan
akal (conviction raisonnee)
c) Membuktikan dalam hukum acara mempunyai
arti yuridis
Didalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya
pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap
orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti lawan.
Akan tetapi merupakan pembuktian konvensionil
yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi
pihak-pihak yang beperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan
demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak.
Ada kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian
atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan. Maka hal ini
dimungkinkan adanya bukti lawan.
Pembuktian secara yuridis tidak lain adalah
pembuktian “historis” yang mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara
konkreto. Baik pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan
pada hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa
tertentu dianggap benar.
Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain
berarti memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa
perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran
peristiwa yang diajukan.
Berbeda dengan azas yang terdapat pada hukum
acara pidana, dimana seseorang tidak boleh dipersalahkan telah melakukan tindak
pidana, kecuali apabila berdasarkan buki-bukti yang sah hakim memperoleh
keyakinan tentang kesalahan terdakwa, dalam hukum acara perdata untuk memenangkan
seseorang, tidak perlu adanya keyakinan hakim.
Yang penting adalah adanya alat-alat bukti
yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil
keputusan tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan
lain, dalam hukum acara perdata, cukup dengan kebenaran formil saja.
3. Prinsip-Prinsip Pembuktian
Dalam suatu proses perdata, salah
satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang
menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak.
Adanya hubungan hukum inilah yang harus
terbukti apabila penggugat mengiginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila
penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar
gugatannya, maka gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila berhasil, maka gugatannya
akan dikabulkan.
Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan
harus dibuktikan kebenarannya, untuk dalil-dalil yang tidak disangkal, apabila
diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, maka tidak perlu dibuktikan lagi.
Beberapa hal/keadaan yang tidak harus dibuktikan
antara lain :
- hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diakui
- hal-hal/keadaan-keadaan yang tidak disangkal
- hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diketahui
oleh khalayak ramai (notoire feiten/fakta notoir). Atau hal-hal yang secara
kebetulan telah diketahui sendiri oleh hakim.
Merupakan fakta notoir, bahwa
pada hari Minggu semua kantor pemerintah tutup, dan bahwa harga tanah
di jakarta lebih mahal dari di desa.
Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak
penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa
perkara itu yang akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara
yang akan diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau
sebaliknya pihak tergugat. Secara ringkas disimpulkan bahwa hakim sendiri yang
menentukan pihak yang mana yang akan memikul beban pembuktian. Didalam soal
menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak arif dan
bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan
keadaan yang konkrit harus diperhatikan dengan seksama olehnya.
Sebagai pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865
BW, bahwa:
" Barang siapa mengajukan
peristiwa-peristiwa atas mana dia mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan
peristiwa-pristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa
guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan
peristiwa-peristiwa itu"
4. Teori-Teori Tentang Penilaian Pembuktian
Sekalipun untuk peristiwa yang disengketakan
itu telah diajukan pembuktian, namun pembuktian itu masih harus dinilai.
Berhubung dengan menilai pembuktian, hakim
dapat bertindak bebas [contoh: hakim tidak wajib mempercayai satu orang
saksi saja, yang berarti hakim bebas menilai kesaksiannya (ps. 1782 HIR,
309 Rbg, 1908 BW)] atau diikat oleh undang-undang [contoh: terhadap akta yang
merupakan alat bukti tertulis, hakim terikat dalam penilaiannya (ps. 165 HIR,
285 Rbg, 1870 BW)].
Terdapat 3 (tiga) teori yang menjelaskan
tentang sampai berapa jauhkah hukum positif dapat mengikat hakim atau para
pihak dalam pembuktian peristiwa didalam sidang, yaitu :
a) Teori Pembuktian Bebas
Teori ini tidak menghendaki adanya
ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa
dapat diserahkan kepada hakim. Teori ini dikehendaki jumhur/pendapat umum
karena akan memberikan kelonggaran wewenang kepada hakim dalam
mencari kebenaran.
b) Teori Pembuktian Negatif
Teori ini hanya menghendaki
ketentuan-ketentuan yang mengatur larangan-larangan kepada hakim untuk
melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim disini
dilarang dengan pengecualian (ps. 169 HIR, 306 Rbg, 1905 BW)
c) Teori Pembuktian Positif
Disamping adanya larangan, teori ini
menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi
dengan syarat (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW).
5. Teori-Teori Tentang Beban Pembuktian
Seperti telah diuraikan sekilas diatas (dalam
sub judul prinsip-prinsip pembuktian), maka pembuktian dilakukan oleh para
pihak bukan oleh hakim. Hakimlah yang memerintahkan kepada para pihak untuk
mengajukan alat-alat buktinya.
Dalam ilmu pengetahuan terdapat
beberapa teori tentang beban pembuktian yang menjadi pedoman bagi hakim, antara
lain:
a) Teori pembuktian yang bersifat menguatkan
belaka (bloot affirmatief)
Menurut teori ini siapa yang mengemukakan
sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau yang
menyangkalnya. Teori ini telah ditinggalkan.
b) Teori hukum subyektif
Menurut teori ini
suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hukum subyektif
atau bertujuan mempertahankan hukum subyektif, dan siapa yang mengemukakan atau
mempunyai suatu hak harus membuktikannya.
c) Teori hukum obyektif
Menurut teori ini, mengajukan gugatan hak atau
gugatan berarti bahwa penggugat minta kepada hakim agar hakim menerapkan
ketentuan-ketentuan hukum obyektif terhadap pristiwa yang diajukan. Oleh karena
itu penggugat harus membuktikan kebenaran daripada peristiwa yang diajukan dan
kemudian mencari hukum obyektifnya untuk diterapkan pada peristiwa itu.
d) Teori hukum publik
Menurut teori ini maka mencari kebenaran suatu
pristiwa dalam peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu hakim
harus diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari kebenaran. Disamping itu
para pihak ada kewajiban yang sifatnya hukum publik, untuk membuktikan dengan
segala macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai sanksi pidana.
e) Teori hukum acara
Asas audi et alteram partem atau juga asas
kedudukkan prosesuil yang sama daripada para pihak dimuka hakim merupakan asas
pembagian beban pembuktian menurut teori ini.
Hakim harus membagi beban pembuktian
berdasarkan kesamaan kedudukkan para pihak, sehingga kemungkinan menang antara
para pihak adalah sama.
B. Alat-Alat Bukti
Menurut undang-undang, ada 5 (lima) macam alat
pembuktian yang sah, yaitu
1. Surat-surat
2. Kesaksian
3. persangkaan
4. Pengakuan
5. Sumpah
Berikut ini akan kami uraikan secara ringkas
tentang alat-alat bukti tersebut;
1. Surat-Surat
Menurut undang-undang, surat-surat dapat
dibagi dalam surat-surat akte dan surat-surat lain. Surat akte ialah suatu
tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa,
karenanya suatu akte harus selalu ditandatangani.
Surat-surat akte dapat dibagi lagi atas akte
resmi (authentiek) dan surat-surat akte di bawah tangan (onderhands).
Suatu akte resmi (authentiek) ialah suatu akte
yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang menurut undang-undang
ditugaskan untuk membuat surat-surat akte tesebut. Pejabat umum yang dimaksud
adalah notaris, hakim, jurusita pada suatu pengadilan, Pegawai Pencatatan Sipil
(Ambtenaar Burgelijke Stand), dsb.
Menurut undang-undang suatu akte resmi
(authentiek) mempunyai suatu kekuatan pembuktian sempurna (volledig bewijs),
artinya apabila suatu pihak mengajukan suatu akte resmi, hakim harus
menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan didalam akte itu,
sungguh-sungguh telah terjadi, sehingga hakim tidak boleh memerintahkan
penambahan pembuktian lagi.
Suatu akte di bawah tangan (onderhands) ialah
tiap akte yang tidak dibuat oleh atau dengan perantara seorang pejabat umum.
Misalnya, surat perjanjian jual-beli atau sewa menyewa yang dibuat sendiri dan
ditandatangani sendiri oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu.
Jika pihak yang menandatangani surat perjanjian itu mengakui atau tidak
menyangkal tandatangannya, yang berarti ia mengakui atau tidak menyangkal
kebenaran apa yang tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akte dibawah
tangan tersebut memperoleh suatu kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu
akte resmi.
Akan tetapi jika tanda tangan itu disangkal,
maka pihak yang mengajukan surat perjanjian tersebut diwajibkan untuk
membuktikan kebenaran penandatanganan atau isi akte tersebut. Ini adalah suatu
hal yang sebaliknya dari apa yang berlaku terhadap suatu akte resmi. Barang
siapa menyangkal tanda tangannya pada suatu akte resmi, diwajibkan membuktikan
bahwa tanda tangan itu palsu, dengan kata lain, pejabat umum (notaris) yang
membuat akte tersebut telah melakukan pemalsuan surat.
Berbagai tulisan-tulisan lain, artinya tulisan
yang bukan akte seperti surat, faktur, catatan yang dibuat oleh suatu pihak,
dsb. Yang kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim, hakim
leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai kebenarannya.
2. Kesaksian
Sesudah pembuktian dengan tulisan, pembuktian
dengan kesaksian merupakan cara pembuktian yang terpenting dalam perkara yang
sedang diperiksa didepan hakim.
Suatu kesaksian, harus mengenai
peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata sendiri atau yang dialami sendiri
oleh seorang saksi. Jadi tidak boleh saksi itu hanya mendengar saja tentang
adanya peristiwa dari orang lain.
Selanjutnya tidak boleh pula keterangan saksi
itu merupakan kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya dari peristiwa yang dilihat
atau dialaminya, karena hakimlah yang berhak menarik kesimpulan-kesimpulan itu.
Kesaksian bukanlah suatu alat pembuktian yang
sempurna dan mengikat hakim, tetapi terserah pada hakim untuk menerimanya atau
tidak. Artinya, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai
keterangan seorang saksi.
Seorang saksi yang sangat rapat hubungan
kekeluargaan dengan pihak yang berperkara, dapat ditolak oleh pihak lawan,
sedangkan saksi itu sendiri dapat meminta dibebaskan dari kewajibannya untuk
memberikan kesaksian.
Selanjutnya, undang-undang menetapkan bahwa
keterangan satu saksi tidak cukup. Artinya, hakim tidak boleh mendasarkan
putusan tentang kalah menangnya suatu pihak atas keterangannya satu saksi saja.
Jadi kesaksian itu selalu harus ditambah dengan suatu alat pembuktian lain.
3. Persangkaan
Persangkan ialah suatu kesimpulan yang diambil
dari suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata. Dari peristiwa yang terang
dan nyata ini ditarik kesimpulan bahwa suatu peristiwa lain yang dibuktikan
juga telah terjadi.
Dalam pembuktian, ada dua macam persangkaan,
ada persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang sendiri (watterlijk
vermoeden) dan persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden).
Persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang
(watterlijk vermoeden), pada hakekatnya merupakan suatu pembebasan dari
kewajiban membuktikan suatu hal untuk keuntungan salah satu pihak yang
berperkara. Misalnya, adanya tiga kwitansi pembayaran sewa rumah yang
berturut-turut. Menurut UU menimbulkan suatu persangkaan, bahwa uang sewa untuk
waktu yang sebelumnya juga telah dibayar olehnya.
Persangkaan yang ditetapkan oleh hakim
(rechtelijk vermoeden), terdapat pada pemeriksaan suatu perkara dimana tidak
terdapat saksi-saksi yang dengan mata kepalanya sendiri telah melihat peristiwa
itu. Misalnya, dalam suatu perkara dimana seorang suami mendakwa istrinya
berbuat zina dengan lelaki lain. Hal ini tentunya sangat sukar memperoleh
saksi-saksi yang melihat dengan mata kepalanya sendiri perbuatan zina itu. Akan
tetapi, jika ada saksi-saksi yang melihat si istri itu menginap dalan satu
kamar dengan seorang lelaki sedangkan didalam kamar tersebut hanya ada satu
buah tempat tidur saja, maka dari keterangan saksi-saksi itu hakim dapat
menetapkan suatu persangkaan bahwa kedua orang itu sudah melakukan perbuatan
zina. Dan memang dalam perbuatan zina itu lazimnya hanya dapat dibuktikan
dengan persangkaan.
4. Pengakuan
Sebenarnya pengakuan bukan suatu alat
pembuktian, karena jika suatu pihak mengakui sesuatu hal, maka pihak lawan
dibebaskan untuk membuktikan hak tersebut, sehingga tidak dapat dikatakan pihak
lawan ini telah membuktikan hal tersebut. Sebab pemeriksaan didepan hakim belum
sampai pada tingkat pembuktian.
Menurut undang-undang, suatu pengakuan di
depan hakim, merupakan suatu pembuktian yang sempurna tentang kebenaran hal
atau peristiwa yang diakui. Ini berarti, hakim terpaksa untuk menerima dan
menganggap, suatu peristiwa yang telah diakui memang benar-benar telah terjadi,
meskipun sebetulnya ia sendiri tidak percaya bahwa peristiwa itu
sungguh-sungguh telah terjadi.
Adakalanya, seorang tergugat dalam suatu
perkara perdata mengakui suatu peristiwa yang diajukan oleh penggugat, tetapi
sebagai pembelaan mengajukan suatu peristiwa lain yang menghapuskan dasar
tuntutan. Misalnya, ia mengakui adanya perjanjian jual beli, tetapi mengajukan
bahwa ia sudah membayar harganya barang yang telah ia terima dari penggugat.
Menurut UU suatu pengakuan yang demikian, oleh hakim tidak boleh dipecah-pecah
hingga merugian kedudukkan pihak tergugat didalam proses yang telah berlangsung
itu. Dengan kata lain, suatu pengakuan yang disertai suatu peristiwa pembebasan
oleh UU tidak dianggap sebagai suatu pengakuan (onplitsbare bekentenis). Jadi
dalam praktek, si penjual barang masih harus membuktikan adanya perjanjian jual
beli dan terjadinya penyerahan barang yang telah dibelinya itu pada si pembeli.
Perlu diterangkan, bahwa dalam suatu hal UU
melarang dipakai pengakuan sebagai alat pembuktian dalam suatu proses, yaitu
dalam suatu perkara yang diajukan oleh seorang istri terhadap suaminya untuk
mendapatkan pemisahan kekayaan.
5. Sumpa
Menurut UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu
sumpah yang “menentukan” (decissoire eed) dan “tambahan” (supletoir eed).
Sumpah yang “menentukan” (decissoire eed)
adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada
pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh
hakim. Jika pihak lawan mengangkat sumpah yang perumusannya disusun sendiri
oleh pihak yang memerintahkan pengangkatan sumpah itu, ia akan dimenangkan,
sebaliknya, jika ia tidak berani dan menolak pengangkatan sumpah itu, ia akan
dikalahkan. Pihak yang diperintahkan mengangkat sumpah, mempunyai hak untuk
“mengembalikan” perintah itu, artinya meminta kepada pihak lawannya sendiri
mengangkat sumpah itu. Tentu saja perumusan sumpah yang dikembalikan itu
sebaliknya dari perumusan semula. Misalnya, jika rumusan yang semula berbunyi :
“Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya telah menyerahkan barang” perumusan
sumpah yang dikembalikan akan berbunyi “Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh
Saya tidak menerima barang”. Jika sumpah dikembalikan, maka pihak yang semula
memerintahkan pengangkatan sumpah itu, akan dimenangkan oleh hakim apabila ia
mengangkat sumpah itu. Sebaliknya ia akan dikalahkan apabila dia menolak
pengangkatan sumpah itu.
Jika suatu pihak yang berperkara hendak
memerintahkan pengangkatan suatu sumpah yang menentukan, hakim harus
mempertimbangkan dahulu apakah ia dapat mengizinkan perintah mengangkat sumpah
itu. Untuk itu hakim memeriksa apakah hal yang disebutkan dalam perumusan sumpah
itu sungguh-sungguh mengenai suatu perbuatan yang telah dilakukan sendiri oleh
pihak yang mengangkat sumpah atau suatu peristiwa yang telah dilihat sendiri
oleh pihak itu. Selanjutnya harus dipertimbangkan apakah sungguh-sungguh dengan
terbuktinya hal yang disumpahkan itu nanti perselisihan antara kedua pihak yang
berperkara itu dapat diakhiri, sehingga dapat dikatakan bahwa sumpah itu
sungguh-sungguh “menentukan” jalannya perkara.
Suatu sumpah tambahan, adalah suatu sumpah
yang diperintahkan oleh hakim pada salah satu pihak yang beperkara apabila
hakim itu barpendapat bahwa didalam suatu perkara sudah terdapat suatu
“permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan penyumpahan, karena
dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti
yang terdapat itu. Hakim, leluasa apakah ia akan memerintahkan suatu sumpah
tambahan atau tidak dan apakah suatu hal sudah merupakan permulaan pembuktian.
Pihak yang mendapat perintah untuk mengangkat
suatu sumpah tambahan, hanya dapat mengangkat atau menolak sumpah itu. Tetapi
ia tak dapat “mengembalikan” sumpah tersebut kepada pihak lawan. Sebenarnya,
terhadap sumpah tambahan ini pun dapat dikatakan, bahwa ia menentukan juga
jalannya perkara, sehingga perbedaan sebenarnya dengan suatu sumpah decissoir
ialah, bahwa yang belakangan diperintahkan oleh suatu pihak yang beperkara
kepada pihak lawannya, sedangkan sumpah tambahan diperintahkan oleh hakim
karena jabatannya, jadi atas kehendak hakim itu sendiri.